Ditulis Oleh Sutaryono
KabarIndonesia - Era millenium yang ditandai dengan berbagai kesadaran baru tentang keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan manusia di tengah pergulatan ekonomi dan politik global yang cenderung kapitalistik, menjadi diskursus menarik.
Tidak sekedar diskursus, tetapi berbagai agenda-agenda pembangunan wilayah yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat menjadi agenda penting dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan penduduk dunia, dengan tetap dalam kerangka keberlanjutan lingkungan. The Millennium Development Goals (MDGs) Report 2006, pada tahun 1990 mencatat lebih dari 1,2 Milyar penduduk dunia (28%) yang tinggal di negara-negara berkembang berada pada kondisi kemiskinan yang memprihatinkan. Dalam konteks ke-Indonesia-an, berdasarkan MDGs Report Tahun 2005 jumlah penduduk miskin pada tahun 1999 mencapai 23,4 %. Pada tahun 2002 turun menjadi 18,2%, pada tahun 2003 menjadi 17,4% dan pada tahun 2004 menjadi 16,6%. Namun demikian menurut Tjondronegoro, pada tahun 2008 kalau kemiskinan diukur menggunakan kriterium Bank Dunia, dimana orang miskin adalah orang yang berpenghasilan di bawah USD 1,00 per Kepala Keluarga (KK), maka jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 20 jutaapabila kriterium yang dipakai adalah angka Bank Dunia yang lain, yakni USD 2,00 per KK, maka jumlah penduduk miskin Indonesia pada saat ini mencapai 100 juta jiwa, atau hampir separuh (43,5%) jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 230 juta jiwa (Tjondronegoro, 2008aBerdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Susenas, menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 39,30 juta jiwa. Jumlah ini tersebar di wilayah perdesaan mencapai 24,81 juta jiwa dan di daerah perkotaan mencapai 14,49 juta jiwa (Heriawan, 2006). Apabila dihitung berdasarkan jumlah Rumah Tangga Miskin, terdapat 19,1 juta Rumah Tangga Miskin di negeri yang kaya ini. Berdasarkan data tersebut, 63,1% penduduk miskin berada di wilayah perdesaan. Lebih dari itu, 72% dari jumlah penduduk miskin di wilayah perdesaan menggantungkan hidupnya di sektor pertaniandihitung berdasarkan jumlah Rumah Tangga Pertanian, di seluruh Indonesia terdapat 13,3 juta Rumah Tangga Pertanian yang hanya menguasai (belum tentu memiliki) luas bidang tanah kurang dari 0,5 hektar (Heriawan, 2006ini menunjukkan bahwa penguasaan tanah oleh rumah tangga petani sangat memprihatinkan, karena sebagian besar petani kita adalah petani gurem. Kondisi ini tidak hanya dialami oleh petani di Pulau Jawa, tetapi juga petani di luar Pulau Jawa. Sebagai contoh 74 dari 100 rumah tangga petani di Jawa adalah petani gurem, di Kalimantan petani gurem mencapai 28%, dan di Sulawesi mencapai 31% dari seluruh rumah tangga petani (Heriawan, 2006). Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani di negeri ini dapat dikatakan ‘lapar tanah'- salah satu penyebab meningkatnya tekanan terhadap kawasan hutan.Pengangguran dan Kelangkaan Sumberdaya LahanPersoalan kemiskinan dan kelangkaan sumberdaya lahan bagi petani sebagaimana di atas sangat erat dengan persoalan ketenagakerjaan. Keterbatasan lahan garapan bagi angkatan kerja di perdesaan semakin meningkatkan angka pengangguran. Hal ini telah disinyalir cukup lama sebagai permasalahan ketenagakerjaan yang paling utama, yakni persediaan tenaga kerja lebih besar dari kebutuhan tenaga kerja. Wujud dari permasalahan tersebut berupa pengangguran, kemiskinan dan keterbelakangan. Berdasarkan hasil Sakernas 2006, terdapat sejumlah 106,3 juta angkatan kerja di Indonesia. Dari sejumlah itu terdapat 11,1 juta jiwa (10,4%) pencari kerja atau sering disebut juga sebagai pengangguran terbuka. Jumlah tersebut terdistribusi di perdesaan sebesar 5,28 juta jiwa (47,6%) dan di perkotaan sebesar 5,82 juta jiwa (52,4 pengangguran ini akan bertambah menjadi 41 juta orang, apabila digabung dengan angkatan kerja yang statusnya setengah pengangguran (bekerja tidak penuh) yang berjumlah 29,9 juta jiwa (23 juta jiwa berada di perdesaan dan 6,9 juta jiwa ada di perkotaan). Jumlah pengangguran dan setengah pengangguran ini, ternyata mencapai 38,57% dari seluruh angkatan kerja yang tersedia. Sejumlah 41 juta orang pengangguran (terbuka dan setengah pengangguran) ini adalah persoalan yang cukup berat bagi bangsa Indonesia. Petani yang lapar tanah, meningkatnya pengangguran yang berujung pada kemiskinan di perdesaan, menjadi satu penyebab masifnya perambahan hutan dan okupasi lahan-lahan kehutanan. Perambahan hutan yang dicirikan dengan illegal loging, okupasi lahan yang dicirikan dengan konversi lahan kehutanan menjadi lahan pertanian, permukiman dan penggunaan lahan lainnya semakin meningkatkan tekanan terhadap hutan yang bermuara pada degradasi lingkungan kehutanan. Fenomena banjir, longsor lahan, dan kekeringan menjadi sebuah keniscayaan pada wilayah hutan dengan intensitas tekanan yang semakin tinggi. Untuk mengurangi atau bahkan menanggulangi degradasi lingkungan kehutanan sebagaimana di atas perlu dilakukan pengelolaan hutan yang terintegrasi dan melibatkan masyarakat sekitar hutan secara sistemik, holistik dan berkelanjutan. Keterlibatan masyarakat sekitar hutan ini harus ditempatkan pada skema pemberdayaan, tidak sekedar partisipasi yang cenderung mobilisasi yang nir penguatan hak-hak masyarakat. Pengalaman Pemberdayaan Dalam Pengelolaan Hutan Masyarakat perdesaan di sekitar hutan, adalah masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan, kesejahteraan, inisiasi dan daya kreasi yang relatif rendah. Budaya nrimo dan sikap fatalis menjadikan masyarakat yang selalu tersubordinasikan oleh sistem ini menjadi sulit untuk bisa berdaya (Sutaryono, 2008sisi lain tekanan terhadap hutan yang semakin tinggi diklaim sebagai pemasok terbesar terhadap tingkat kerusakan hutan yang terjadi. Peladangan berpindah dan kesadaran masyarakat sekitar hutan terhadap sustainability sumberdaya hutan yang rendah sering dijadikan kambing hitam. Meskipun hal itu tidak sepenuhnya benar, tetapi upaya pemberdayaan masyarakat nampak menjadi entry point bagi tercapainya pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari, adil dan berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, khususnya di Jawa telah lama dilakukan oleh Perum Perhutani. Beberapa program pemberdayaan yang telah dilaksanakan antara lain (Prakoso, 1996 dalam Sutaryono, 2008): (1) Prosperity Approach merupakan sebuah embrio pemberdayaan yang sudah mulai diterapkan semenjak tahun 1972, meliputi kegiatan di dalam dan di luar kawasan hutan. Kegiatan tersebut selalu mengalami perkembangan dan penyesuaian berdasarkan perkembangan kondisi sosial ekonomi masyarakat beserta perkembangan ilmu dan teknologi. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan sekaligus membuka dan memperluas lapangan kerja; (2) Program MA - LU atau "Mantri - Lurah", yakni program yang bertujuan untuk menggalang kerjasama antara Mantri dan Lurah dalam memberikan informasi kepada pesanggem tentang agroforestery dan aspek pertanian lain melalui berbagai demonstrasi plot; (3) Pada saat masyarakat mengeluh tentang keterbatasan lahan garapan, Perum Perhutani menawarkan sistem kontrak untuk mengerjakan lahan kawasan hutan yang dibingkai ke dalam program pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH); (4) Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang diluncurkan pada tahun 1981, yang di dalamnya terdapat program pengembangan sumberdaya manusia; (5) Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, yang lebih dikenal dengan PHBM, yang cenderung berorientasi pada pengamanan hutan, bukan pada upaya pemberdayaan. Program-program di atas terlahir, tumbuh dan berkembang dalam nuansa politik yang sentralistik, paradigma pertumbuhan ekonomi yang menjadi acuan pembangunan serta hegemoni negara yang begitu kuatnya menjadikan ruang-ruang interaksi, inovasi dan partisipasi kritis masyarakat menjadi sangat terbatas- kalau tidak dapat dikatakan tidak adaini memberikan implikasi pada peran masyarakat sekitar hutan yang hanya sekedar obyek program-progam tersebut. Partisipasi masyarakat terletak pada tingkat operasional saja. Segala macam regulasi sudah ditentukan oleh Perum Perhutani, baik yang substansial maupun yang bersifat teknis. Tidak ada kebebasan ataupun peluang bagi anggota masyarakat yang terlibat dalam program-program tersebut untuk mengembangkan program ataupun untuk berimproviasasi sekedar mengikuti nalurinya sebagai petani yang akrab dengan alam. Petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang sudah disiapkan secara sepihak oleh Perum Perhutani harus menjadi acuan utama dalam kegiatan operasional. Kasus tersebut menunjukkan bahwa dalam pengelolaan hutan di Jawa, upaya pemberdayaan yang dilakukan oleh Perum Perhutani masih terbatas pada penggunaan terminologi belaka, tidak menyentuh substansi pemberdayaan. Akibatnya sudah dapat diduga, deforestasi masih menggejala dan tidak menunjukkan tanda-tanda berkurang intensitasnyadalam pengelolaan hutan sebagaimana dilakukan oleh Perum Perhutani masih bersifat setengah hati yang justru memberikan implikasi pada hilangnya kepercayaan masyarakat sekitar hutan kepada pihak-pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaan hutan. Hilangnya kepercayaan itu salah satunya dimanifestasikan dalam bentuk resistensi yang mulai berkembang ke arah resistensi terbuka dan bersifat kontraproduktif (Sutaryono, 2008).Pengelolaan Hutan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Berbicara pengelolaan hutan berkelanjutan harus didahului dengan pemberdayaan masyarakat, meskipun dapat juga dipahami bahwa pengelolan hutan berkelanjutan adalah salah satu upaya dalam pemberdayaan. Dalam konteks ini penulis berkeyakinan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah sebuah prasyarat yang harus dipenuhi dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan. Hal ini dilatarbelakangi bahwa masyarakat yang tidak berdaya diberikan stimulan berupa apapun, tetap tidak akan berdaya - realitas pada kasus program-program pemberdayaan masyarakat yang dimunculkan oleh Peru Perhutani apabila masyarakat diberdayakan lebih dahulu maka berbagai stimulan yang ada- apapun bentuknya- akan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitasnya dalam pengelolaan wilayah hutan yang muaranya adalah peningkatan kesejahteraan. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat Kartasasmita, 1996 berarti bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran terhadap potensi yang dimilikinya untuk lebih berdaya guna dan berhasil guna. Hal ini dapat dimaknai bahwa pemberdayaan masyarakat itu salah satunya adalah bagaimana merubah mind set seseorang dari perasaan tidak mampu, tidak bisa dan tidak mungkin menjadi merasa mampu, bisa dan sangat mungkin untuk melakukan perubahan. Adanya pencerahan pada masyarakat sekitar hutan akan kekuatan dan potensi yang dimiliki dapat memberikan kesadaran bersama bahwa perubahan menuju kesejahteraan adalah sebuah keniscayaan. Berkaitan dengan hal tersebut, Suharto (2005) menyebutkan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk kelompok miskin. Sebagai tujuan pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya, mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup, memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan kehidupan. Memberdayakan masyarakat dapat dilakukan dengan tiga cara yang meliputi (Kartasasmita, 1996): (1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang (enabling); (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah positif dalam peningkatan taraf pendidikan, derajat kesehatan serta akses terhadap sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar. Pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar baik fisik seperti jaringan jalan, irigasi, listrik maupun sosial seperti fasilitas pelayanan pendidikan, kesehatan serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan dan pemasaran hasil produksi; (3) memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, bukan membuat masyarakat manjadi makin tergantung pada berbagai program yang bersifat charity, karena pada dasarnya setiap apa yang dimiliki harus dihasilkan atas usaha dan jerih payahnya sendiri, yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain. Berkaitan dengan beberapa hal tersebut, upaya pengelolaan hutan yang berbasiskan pemberdayaan dapat dilakukan dengan strategi sebagai berikut: (1) pemberian asset lahan kehutanan yang berhubungan langsung dengan masyarakat sekitar hutanUpaya ini dilakukan untuk mengurangi kontak langsung masyarakat sekitar hutan dengan hutan sekaligus mereduksi terjadinya pendudukan lahan (land grabbing), karena masyarakat sudah diberi asset terhadap lahan kehutanan yang dapat berfungsi sebagai kawasan penyangga; (2) pemberian akses masyarakat terhadap kawasan hutan, baik dalam hal pemanfaatan hasil hutan, pemeliharaan dan pengawasan. Akses terhadap kawasan hutan ini tidak sekedar terbatas pada pengelolaan lahan kehutanan dengan sistem tumpang sari yang jangka waktunya sangat terbatas, tetapi juga akses dalam pemanfaatan biodiversity hutan yang memungkinkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan peluang untuk ikut mengawasi dan mengamankan kawasan hutan dari berbagai kemungkinan pengrusakan dan pembalakan; (3) meningkatkan ruang interaksi antara masyarakat sekitar hutan dengan lembaga yang diberi otoritas dalam pengusahaan hutan dengan semangat kesetaraan dan kemitraan. Semangat kesetaraan dan kemitraan akan meniadakan subordinasi terhadap masyarakat, tetapi justru menumbuhkan keberdayaan masyarakat sekitar hutan yang memungkinkan gagasan dan inisiatif lokal dalam pengelolaan hutan dapat dioperasionalkan secara modern; (4) perluasan lapangan kerja dalam pengusahaan hutan yang memungkinkan masyarakat sekitar hutan terlibat. Upaya ini dalam jangka pendek dapat mengurangi tingkat pengangguran sekaligus mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan; (5) menggeser paradigma pengusahaan hutan dari timber management yang bercirikan timber extraction (penambangan kayu) ke dalam pengelolaan hutan berbasis resources management yang mengedepankan pengelolaan suberdaya hutan partisipatif terintegrasi dan berbasiskan masyarakat. Paradigma resources management memungkinkan seluruh aparatur kehutanan mempunyai bekal yang lebih lengkap dalam pengelolaan hutan, tidak sekedar kemampuan teknis dalam pengelolaan hutan tetapi juga memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitar hutan secara partisipatif yang mengedepankan kebersamaan.PenutupBeberapa hal yang disebutkan di atas membutuhkan komitmen bersama segenap pemangku kepentingan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan, terutama pihak-pihak yang mempunyai otoritas dalam pengambilan kebijakan. Apabila hal di atas dapat dilakukan secara simultan, dapat dipastikan bahwa masyarakat sekitar hutan akan muncul pemahaman dan kesadaran baru tentang pentingnya keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya hutan. Pemahaman dan kesadaran baru tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah keberdayaan masyarakat yang bermuara pada tumbuhnya self of belonging masyarakat sekitar hutan terhadap sumberdaya hutan yang sudah hampir menghilang dari relung-relung kehidupan masyarakat sekitar hutan. Semoga. Bahan BacaanGriffin, Keith. et al. 2002. "Poverty and the Distribution of Land". Journal of Agrarian Change. Vol 2 No. 3, July 2002.Heriawan, 2006. Implementasi Reformasi Agraria Dari Perspektif Dukungan Penyediaan Data dan Informasi Statistik. Makalah pada Simposium Agraria Nasional, 4 Desember 2006 di Makasar.Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Pustaka Cidesindo, Jakarta.Prijono, Onny S & Pranarka AMW, 1996, Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Centre for Strategic an International Studies (CSIS), Jakarta.Sutaryono, 2008. Pemberdayaan Setengah Hati: Subordinasi Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan. STPN & Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta.Tjondronegoro, 2008a. Mencari Ilmu Di Tiga Jaman Tiga Benua. Sains Press. Bogor.____________, 2008b. Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia. AKATIGA. Bandung.United Nations, 2006. The Millennium Development Goals Report 2006. New York.Word Bank, 2008. "Agriculture For Development". Word Development Report 2008. The Word Bank. Washington, DC.
Adapted by : Perum Perhutani
Jumat, 11 Juni 2010
Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan
Penyebab Kerusakan Hutan di Indonesia
Adapted by : Antara News
Pekalongan (ANTARA News) - Menteri Kehutanan (Menhut), M.S Kaban, mengatakan bahwa 80 persen kerusakan hutan yang terjadi di dunia selama ini akibat adanya perkembangan industri yang pesat yang membutuhkan lahan-lahan produktif.
"Sebanyak 80 persen kerusakan hutan di dunia disebabkan adanya industri besar-besaran di Amerika," katanya di Pekalongan, Selasa.
Oleh karena itu, ia tidak sependapat dengan pernyataan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan hidup Greenpeace yang mengumumkan kepada masyarakat dunia, jika bangsa Indonesia sebagai perusak lingkungan hutan.
"Kenapa Bangsa Indonesia selalu dipojokan dalam kerusakan hutan? Padahal, Amerika justru merupakan negara yang mengambil hasil hutan tidak pernah dipertanyakan," katanya.
Untuk menangkal adanya citra buruk bahwa Indonesia sebagai perusak hutan, ia mengajak masyarakat, agar terus berprestasi terhadap kemajuan lingkungan hutan yang ada di sekitarnya.
"Isu-isu degradasi perusakan lingkungan hutan harus diselesaikan secara bersama dan tidak menyalahkan satu sama lainnya," katanya.
Selain itu, Kaban juga meminta pada lingkungan akademis, agar mengurangi penerapan praktik penebangan kayu hutan dan lebih mengutamakan untuk memberikan contoh pada masyarakat terhadap bagaimanan melakukan penanaman pohon yang baik di kawasan hutan.
Menurut dia, selama ini ada kesan jika kerusakan hutan ini terjadi akibat masyarakat ingin menikmati hasil hutan tetapi tidak ada upaya untuk melakukan penanaman pohon.
"Karena itu, kami setuju jika pengelolaan hutan dilakukan secara bersama dengan pihak perhutani, pemda, dan masyarakat sehingga hasilnya bisa dinikmati untuk masa yang akan datang," ujarnya.
Ia menambahkan, sudah saatnya Bangsa Indonesia untuk tidak menunda perbaikan lingkungan hutan dan tidak perlu menyalahkan masalah kerusakan hutan yang terjadi pada masa lalu.
"Mari kita tunjukan pada bangsa lain jika Indonesia mampu memperbaiki lingkungan, tanpa harus ada bantuan dari negara lain," katanya menambahkan. (*)
Reaksi Masyarakat Dunia Terhadap Kerusakan Hutan
1.Brasil
Brasil mengungkapkan rencananya untuk mengurangi pembabatan hutan Amazon
Langkah-langkah untuk melindungi hutan termasuk memindahkan ternak yang ditemukan makan rumput secara ilegal di bagian hutan yang gundul dan menyita kayu yang ditebang secara ilegal. Industri pemroses biji-bijian juga sepakat untuk menolak kacang kedelai yang ditanam di hutan yang sudah ditebang.
http://www.reuters.com/article/environmentNews/idUSN1734831620080618
Restorasi Hutan bisa Memakan Waktu 4.000 Tahun
Riset yang dilakukan oleh Marcia Marques dan rekan-rekannya dari Universitas Federal Parana di Brasil berusaha memahami berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh hutan untuk memulihkan tumbuhan aslinya secara penuh. Studi yang berfokus kepada hutan Atlantik Brasil, menemukan bahwa meskipun spesies tertentu bisa berkembang biak secepat 65 tahun, tetapi spesies-spesies lainnya seperti pohon shade-loving bisa membutuhkan kurang lebih 160 tahun. Akhirnya, spesies-spesies asli yang unik dan dibutuhkan untuk mengembalikan hutan secara penuh bisa membutuhkan waktu selama 4.000 tahun.
2. Negara Kutub
Dr. Vesala dan timnya mempelajari daerah Boreal dekat kutub di Finlandia, dimana dampak perubahan iklim berlipat ganda. Dalam sebuah studi baru, mereka menemukan bahwa hutan-hutan di sana tidak hanya bereaksi tetapi juga menambah terjadinya pemanasan atmosfer.
Dr. Timo Vesala:
Jadi ketika suhu udara naik maka suhu tanah mengikutinya. Dan pada suhu yang lebih tinggi, pada musim gugur dan musim dingin yang hangat, emisi CO2 yang alami dari tanah, dari proses pembusukan materi organik, sampah, dan lain-lain, semuanya ada pada tingkat yang lebih tinggi. Pada masa tanam di musim semi, pohon-pohon mampu menyerap CO2 lebih banyak melalui sebuah proses yang disebut fotosintesis. Tetapi, Dr. Vesala menemukan bahwa kekeringan di musim gugur menjadi lebih lama karena perubahan iklim, terbalik dengan dampak-dampak yang baik ini. Karena sebenarnya di sana tidak ada air, pohon-pohon itu mematikan proses fotosintesis-nya. Dan hutan yang normal ini, yang seharusnya menyerap karbon, kenyataannya malah melepaskannya dalam jumlah yang banyak. Jumlahnya bahkan sebanding dengan emisi-emisi CO2 yang disebabkan oleh manusia. Dengan kata lain, dengan kenaikan suhu atmosfer global, tanah dan hutan di daerah Arktik sekarang berubah menjadi sumber gas rumah kaca. Dr. Vesala berharap bahwa suatu hari atmosfer kita bisa menjadi tidak begitu kompleks dan mengatakan
beberapa nasihat sederhana agar hal itu bisa terjadi: "Pertimbangkanlah masa depan dalam kehidupan dan perencanaan sehari-hari. Jadilah Vegetarian, Jadilah Hijau, Selamatkan Bumi."
http://www.mm.helsinki.fi/core/publications.htm
3. Inggris
Pangeran Charles Menyerukan Penghentian Pembabatan Hutan Hujan
Dengan menyebutkan pentingnya hutan hujan untuk menyerap karbon dan berfungsi sebagai paru-paru dunia, Pangeran Charles berkata bahwa tanpa penghentian yang cepat terhadap pengrusakan hutan hujan, kita akan menghadapi semakin banyak kekeringan dan kelaparan secara signifikan. Yang Mulia mengungkapkan harapannya agar para konsumen menjadi lebih sadar akan akibat dari pola belanja mereka. Ia juga menyerukan para pemerintah dan organisasi-organisasi untuk mencari cara untuk membuat hutan hujan lebih menguntungkan dalam menopang mata pencarian penduduk lokal.
4. Indonesia
Indonesia Menetapkan Standar Minyak Kelapa Sawit
Indonesia menerapkan langkah yang lebih ketat untuk memastikan bahwa produsen minyak kelapa sawit mengikuti standar yang ramah lingkungan yang melindungi hutan hujan, kehidupan liar, dan suku pribumi. Meja Bundar untuk Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan (RSPO) telah memulai proses pemberian label untuk mengaudit dan menandai perkebunan kelapa sawit.
http://www.globalgoodnews.com/business-news-a.html?art=121016728413909855
Memperkecil Pembabatan Hutan adalah Kunci untuk Stabilisasi Iklim
5. Dunia
Minggu yang lalu, pejabat Yayasan Dunia untuk Alam (WWF) berkata di depan Senat AS bahwa pembabatan hutan bertanggung jawab untuk seperlima dari emisi gas rumah kaca. David Hayes, seorang rekan WWF senior, menyatakan pada dengar pendapat Senat mengenai Pembabatan Hutan Internasional dan Perubahan Iklim, berkata, “Secara sederhana, kita tidak bisa membuat kemajuan melawan perubahan iklim kecuali jika kita mengurangi laju penebangan hutan.”
http://www.commondreams.org/news2008/0422-07.htm
Luas Hutan Indonesia
Adapted by : ISAI
Hutan-hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia, meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi. Kekayaan hayatinya mencapai 11 persen spesies tumbuhan yang terdapat di permukaan bumi. Selain itu, terdapat 10 persen spesies mamalia dari total binatang mamalia bumi, dan 16 persen spesies burung di dunia.1
Sejatinya, seberapa luas hutan di Indonesia? Dinas Kehutanan Indonesia pada 1950 pernah merilis peta vegetasi. Peta yang memberikan informasi lugas, bahwa, dulunya sekitar 84 persen luas daratan Indonesia (162.290.000 hektar) pada masa itu, tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan.
Peta vegetasi 1950 juga menyebutkan luas hutan per pulau secara berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000 hektar, Irian Jaya seluas 40.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar.
Menurut catatan pada masa pendudukan Belanda, pada 1939 perkebunan skala besar yang dieksploitasi luasnya mencapai 2,5 juta hektar dan hanya 1,2 juta hektar yang ditanami. Sektor ini mengalami stagnasi sepanjang tahun 1940-an hingga 1950-an. Tahun 1969, luas perkebunan skala kecil hanya mencapai 4,6 juta hektar. Sebagaian besar lahan hutan itu berubah menjadi perkebunan atau persawahan sekitar 1950-an dan 1960-an. Alasan utama pembukaan hutan yang terjadi adalah untuk kepentingan pertanian, terutama untuk budidaya padi.2
Memasuki era 1970-an, hutan Indonesia menginjak babak baru. Di masa era ini, deforestrasi (menghilangnya lahan hutan) mulai menjadi masalah serius. Industri perkayuan memang sedang tumbuh. Pohon bagaikan emas coklat yang menggiurkan keuntungannya. Lalu penebangan hutan secara komersial mulai dibuka besar-besaran. Saat itu terdapat konsesi pembalakan hutan (illegal logging), yang awalnya bertujuan untuk mengembangkan sistem produksi kayu untuk kepentingan masa depan. Pada akhirnya langkah ini terus melaju menuju degradasi hutan yang serius. Kondisi ini juga diikuti oleh pembukaan lahan dan konversi menjadi bentuk pemakaian lahan lainnya.
Hasil survei yang dilakukan pemerintah menyebutkan bahwa tutupan hutan pada tahun 1985 mencapai 119 juta hektar. bila dibandingkan dengan luas hutan tahun 1950 maka terjadi penurunan sebesar 27 persen. Antara 1970-an dan 1990-an, laju deforestrasi diperkirakan antara 0,6 dan 1,2 juta hektar.
Namun angka-angka itu segera diralat, ketika pemerintah dan Bank Dunia pada 1999, bekerjasama melakukan pemetaan ulang pada areal tutupan hutan. Menurut survei 1999 itu, laju deforestrasi rata-rata dari tahun 1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar. Secara keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Para ahli pun sepakat, bila kondisinya masih begitu terus, hutan dataran rendah non rawa akan lenyap dari Sumatera pada 2005 dan di Kalimantan setelah 2010.
Pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang mengejutkan. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (Sumber: World Resource Institute, 1997).
Pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Dua kali lebih cepat ketimbang tahun 1980. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003).3 Dan menciptakan potret keadaan hutan Indonesia dari sisi ekologi, ekonomi, dan sosial ternyata semakin buram.
Forest Watch Indonesia bersama Global Forest Watch menyajikan laporan penilaian komprehensif yang pertama mengenai keadaan hutan Indonesia. Laporan ini menyimpulkan bahwa laju deforestasi yang meningkat dua kali lipat utamanya disebabkan suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Ketidakstabilan politik yang mengikuti krisis ekonomi pada 1997 dan yang akhirnya me-lengser-kan Presiden Soeharto pada 1998, menyebabkan deforestasi semakin bertambah sampai tingkatan yang terjadi pada saat ini.
Pengelolaan hutan yang buruk dimulai semenjak Soeharto berkuasa. Konsesi Hak Pengusahaan Hutan yang mencakup lebih dari setengah luas total hutan Indonesia, oleh mantan Presiden Soeharto sebagian besar di antaranya diberikan kepada sanak saudara dan para pendukung politiknya. Kroniisme di sektor kehutanan membuat para pengusaha kehutanan bebas beroperasi tanpa memperhatikan kelestarian produksi jangka panjang.
Ekspansi besar-besaran dalam industri kayu lapis dan industri pulp dan kertas selama 20 tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu pada saat ini jauh melebihi pasokan legal. Kesenjangannya mencapai 40 juta meter kubik setiap tahun. Banyak industri pengolahan kayu yang mengakui ketergantungan mereka pada kayu curian, jumlahnya mencapai 65 persen dari pasokan total pada 2000.
Korupsi dan anarki atau ketiadaan hukum semakin berkembang menjadi faktor utama meningkatnya pembalakan ilegal dan penggundulan hutan. Pencurian kayu bahkan marak terjadi di kawasan konservasi, misalnya di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah dan di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara dan Aceh.
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sistem konversi hutan menjadi perkebunan menyebabkan deforestasi bertambah luas. Banyak pengusaha mengajukan permohonan izin pembangunan HTI dan perkebunan hanya sebagai dalih untuk mendapatkan keuntungan besar dari Izin Pemanfaatan Kayu (kayu IPK) pada areal hutan alam yang dikonversi. Setelah itu mereka tidak melakukan penanaman kembali, yang menyebabkan jutaan hektar lahan menjadi terlantar. Disamping itu, beberapa perusahaan perkebunan dan HTI sering melakukan pembakaran untuk pembersihan lahan, yang merupakan sumber utama bencana kebakaran hutan di Indonesia.
Pembakaran hutan merupakan salah satu ancaman serius terhadap kerusakan hutan Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini belum banyak tindakan hukum yang telah diambil oleh pemerintah terhadap para pembakar hutan, meskipun sudah ada peraturan perundangan tentang larangan pembakaran hutan, di antaranya PP No. 4 Tahun 2001.
Rabu, 09 Juni 2010
Tujuan Pembangunan
Oleh : Taufik Mubarak
Menurut Dr. S. P. Siagian MPA pembangunan adalah “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perobahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation-building).” Berdasarkan defenisi tersebut maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan pembangunan adalah terciptanya suatu kondisi yang lebih baik dari keadaan sebelumnya, pada bidang yang dijadikan objek pembangunan. Setiap negara memiliki tujuan pembangunan masing-masing yang kadang berbada. Perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan pandangan atau konsepsi negaranya. Pembangunan sebagai kegiatan yang kompleks meliputi berbagai disiplin, sektor, kepentingan, dan kegiatan.. Pembangunan biasanya terbagi atas pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Tujuan pembangunan dirumuskan berdasarkan asas yang di anut suatu bangsa.
Pada umumnya pembangunan nasional negara-negara berkembang ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan ekonomi, dan pemabangunan di bidang ini dapat mendukung pencapaian tujuan, atau mendorong perubahan-perubahan dan pembaharuan pada sektor yang lain dalam bidang kehidupan masyarakat. Tetapi perhatian terhadap sektor ekonomi saja diakui tidak memeberikan jaminan suatu proses pembangunan nasional yang stabil dan kontinu, apabila diabaikan berbagai segi di bidang sosial.
Tujuan pembangunan
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa di satu sisi, kita belum mempunyai konsepsi nasional yang jelas mengenai masyarakat apakah yang ingin kita tuju dengan usaha pembangunan kita. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menelan mentah-mentah contoh-contoh pembangunan dari Amerika, Uni Sovyet, RRC, Jepang ataupun
Referensi :
1. Tjokroamidjojo, Bintaro. 1995. Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3ES :
2. Administrasi bagi pembangunan : Manajemen Pembangunan http://rinoan.staff.uns.ac.id/files/2009/04/administrasi-bagi-pembangunan-manajemen-pembangunan.ppt. Diakses: 5 Mei 2010
3. Jurnal Kebebasan, 2008. Live Blogging (1): Apakah Sebenarnya Tujuan Pembangunan Kita? http://akaldankehendak.com/?p=286. Diakses : 5 Mei 2010
Makalah Pengorganisasian
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepintas pengorganisasian adalah biasa dan lumrah dibicarakan. Yang tidak biasa adalah kenyataan sukarnya kualitas sempurna pengorganisasian dicapai. Hal tersebut, karena salah satu unsur yang termasuk sumber daya tidak lain manusia bahkan manusia dalam keberadaannya sangat vital. Unsur manusia jugalah penyebab kalang kabutnya kondisi negara kita dimana sebagian orang berteriak keras " Ubah sistem ..ubah sistem ". Apa yakin dengan merubah sistem itu efisien? dan kalau pun sistemnya dirubah, manusia jualah yang menjalankan. Sayangnya yang berjuluk manusia itu rakus sebagaimana ilmu ekonomi menyebut homo economicus.
Kerakusan yang menjadi penyebab inti bekerjasama di dominasi kepentingan pribadi. Berbeda dengan ilmu ekonomi, manusia dijuluki ilmu manajemen sebagai homo oeconomicus yang senang bekerjasama. Kiranya dieklektikan, optimalisasi kualitas pengorganisasian dapat kita tempuh dengan cara mengelola manusia rakus sedemikian rupa hingga bekerjasama mencapai tujuan yang ditetapkan. Hal inilah yang melatarbelakangi disusunnya makalah ini.
B. Batasan Masalah
Hal yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Pengorganisasian
2. Prinsip dan unsure pengorganisasian
3. Proses pengorganisasian
4. Struktur Pengorganisasian
BAB II.
PEMBAHASAN
A. Pengorganisasian
Istilah organisasi memiliki dua arti umum, pertama, mengacu pada suatu lembaga (institution) atau kelompok fungsional, sebagai contoh kita mengacu pada perusahaan, badan pemerintah, rumah sakit, atau suatu perkumpulan olahraga. Arti kedua mengacu pada proses pengorganisasian, sebagai salah satu dari fungsi manajemen.
Pengorganisasian (organizing) merupakan suatu cara pengaturan pekerjaan dan pengalokasian pekerjaan di antara para anggota organisasi sehingga tujuan organisasi dapat dicapai secara efisien (Stoner, 1996). Sedangkan Hani Handoko (1999) memberikan pengertian pengorganisasian adalah proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, sumber daya yang dimiliki, dan lingkungan yang melingkupinya.
Menurut Syani, secara metodologis pengorganisasian adalah suatu cara manajerial yang berhubungan dengan usaha-usaha kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dengan pembagian kerja. Dalam usaha-usaha ini para anggota kelompok melaksanakan pekerjaannya disertai pengetahuan dan metode ilmiah berdasarkan perspektif umum yang perlu memelihara dan menjaga yang relevansi responsive dengan tujuan organisasi. Fungsi perngorganisasian adalah suatu kegiatan pengaturan pada sumber daya manusia dan sumberdaya fisik lain yang dimiliki perusahaan untuk menjalankan rencana yang telah ditetapkan serta menggapai tujuan perusahaan.
B. Prinsip dan Unsur Pengorganisasian
Prinsip-prinsip organisasi adalah :
1. Tujuan yang tegas dan jelas 2.
2. Departementasi
3. Pembagian tugas pekerjaan
4. Adanya koordinasi
5. Kesatuan komando
6. Delegasi wewenang
7. Luas jenjang pengawasan yang jelas
8. Seimbang dan fleksibel.
Unsur organisasi adalah:
1. struktur organisasi
2. tugas, orang
3. keputusan dan imbalan
4. situasi informal
5. budaya.
Kecocokan diantara
C. Proses Pengorganisasian
Menurut Stoner (1996) langkah-langkah dalam proses pengorganisasian terdiri dari
- Merinci seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi
- Membagi beban kerja ke dalam kegiatan-kegiatan yang secara logis dan memadai dapat dilakukan oleh seseorang atau oleh sekelompok orang.
- Mengkombinasi pekerjaan anggota perusahaan dengan cara yang logis dan efisien
- Penetapan mekanisme untuk mengkoordinasi pekerjaan anggota organisasi dalam satu kesatuan yang harmonis
- Memantau efektivitas organisasi dan mengambil langkah-langkah penyesuaian untuk mempertahankan atau meningkatkan efektivitas.
Menurut T Hani Handoko (1999) proses pengorganisasian dapat ditunjukkan dengan tiga langkah prosedur sebagai berikut:
- Pemerincian seluruh kegiatan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi.
- Pembagian beban pekerjaan total menjadi kegiatan-kegiatan yang secara logis dapat dilaksanakan oleh satu orang. Pembagian kerja ini sebaiknya tidak terlalu berat juga tidak terlalu ringan.
- Pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan para anggota organisasi menjadi kesatuan yang terpadu dan harmonis.
D. Struktur Organisasi
Struktur organisasi dapat didefinisikan sebagai mekanisme-mekanisme formal dimana organisasi dikelola. Struktur organisasi menunjukkan kerangka dan susunan perwujudan pola tetap hubungan-hubungan di antara fungsi-fungsi, bagian-bagian maupun orang-orang yang menunjukkan kedudukan, tugas, wewenang dan tanggung jawab yang berbeda-beda dalam suatu organisasi.
Faktor-faktor utama yang menentukan perancangan struktur organisasi adalah:
- Strategi organisasi untuk mencapai tujuannya.
- Teknologi yang digunakan
- Anggota dan orang-orang yang terlibat dalam organisasi
- Ukuran organisasi
Sedangkan unsur-unsur struktur organisasi terdiri dari:
- Spesialisasi kegiatan berkenaan dengan spesifikasi tugas-tugas individual dalam organisasi.
- Standarisasi kegiatan yang digunakan organisasi untuk menjamin terlaksananya kegiatan seperti yang direncanakan
- Koordinasi kegiatan yang mengintegrasikan fungsi-fungsi satuan kerja organisasi
- Sentralisasi dan desentralisasi pembuatan keputusan
- Ukuran satuan kerja menunjukkan jumlah karyawan dalam suatu kelompok kerja.
Bagan organisasi memperlihatkan susunan fungsi-fungsi, departemen-departemen, atau posisi-posisi organisasi dan menunjukkan hubungan di antaranya. Bagan organisasi memperlihatkan
- Pembagian kerja.
- Manajer dan bawahan atau rantai perintah.
- Tipe pekerjaan yang dilaksanakan
- Pengelompokkan segmen-segmen pekerjaan
- Tingkatan manajemen
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah :
1. Pengorganisasian (organizing) merupakan suatu cara pengaturan pekerjaan dan pengalokasian pekerjaan di antara para anggota organisasi sehingga tujuan organisasi dapat dicapai secara efisien (Stoner, 1996). Sedangkan T Hani Handoko (1999) memberikan pengertian pengorganisasian adalah proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, sumber daya yang dimiliki, dan lingkungan yang melingkupinya.
2. Prinsip pengorganisasian adalah tujuan yang tegas dan jelas, departementasi, pembagian tugas pekerjaan, adanya koordinasi, kesatuan komando, delegasi wewenang, luas jenjang pengawasan yang jelas, seimbang dan fleksibel. Unsur pengorganisasian adalah struktur organisasi, tugas, orang, keputusan dan imbalan, situasi informal dan budaya
3. Menurut Stoner (1996) langkah-langkah dalam proses pengorganisasian terdiri dari
4. Struktur organisasi dapat didefinisikan sebagai mekanisme-mekanisme formal dimana organisasi dikelola. Struktur organisasi menunjukkan kerangka dan susunan perwujudan pola tetap hubungan-hubungan di antara fungsi-fungsi, bagian-bagian maupun orang-orang yang menunjukkan kedudukan, tugas, wewenang dan tanggung jawab yang berbeda-beda dalam suatu organisasi.
B. Saran
Mengingat pentingnya pengorganisasian maka perlu kiranya masalah ini diperhatikan dan dipahami sebaik-baiknya. Setelah mamahami pengorganisasian maka sebaiknya diterapkan dalam bentuk actual di lapangan.
Daftar Pustaka
Syani, Abdul. 2009. Pengorganisasian. Google doc
Bowo Arief, 2008. Pengorganisasian. Fakultas Ekonomi, Universitas Mercu buana :
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:4WiCFMcMAb8J:pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/93021-6-248379751709.doc+pengorganisasian&cd=4&hl=en&ct=clnk
www. Unila. Ac. Id
Selasa, 20 April 2010
Islam Berbicara Lingkungan Hidup
- Islam memandang lingkungan hidup sebagai nikmat yang diberikan oleh Allah SWT yang wajib disyukuri.
- Islam memandang lingkungan hidup sebagai sarana untuk digunakan bagi manusia dalam hidupnya. Manusia mempunyai hak menjadikan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti mengolah tanah untuk menghasilkan buah-buahan, dll.
- Allah SWT melarang pengrusakan lingkungan hidup. Di dalam Al Qur'an dijelaskan tentang konsekuensi dari perusakan lingkungan terhadap manusia.
- Menumbuhkan kesadaran kepada pengikutnya akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup karena hal itu merupakan perintah agama.
- Bentuk tindakan praksis yang dicontohkan dan diperintahkan Rasulullah SAW kepada pengikutnya antara lain ; ketika berperang dilarang menebang pohon sembarangan kecuali untuk kebutuhan, menetapkan suatu kawasan konservasi yang di dalamnya dilarang berburu dan menebang pohon, larangan membakar kebun kurma, dll.
- Dalam hadist disebutkan bahwa kawasan konservasi jangan terlalu luas.