Sofware Pemasang Iklan Gratis

Mesin Pengumpul Uang

Flag Visitor

free counters

Kamis, 24 Februari 2011

DEWA IKLIM TITISAN MANUSIA ABAD 21

Oleh : Taufik Mubarak*
Alkisah, 21 abad sebelum masehi yang lalu, di sebuah kerajaan antah berantah musibah kelaparan melandahnya. Kerajaan yang dipimpin oleh raja yang bernama Chin benar-benar berada di titik nadir. Tiap hari ratusan rakyatnya meninggal karena kelaparan. Kerajaan yang sebelumnya hidup makmur tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat.
Negeri ini sudah lima tahun tak disapa hujan, telaga, sungai dan danau tidaklah berair. Panen pun tak jadi-jadi. Inilah yang membawa derita rakyat. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Rakyat sepertinya tak bisa berfikiran logis lagi. Mayat-mayat yang bergelimpangan mulai dimakannya. Maka lahirlah manusia-manusia kanibal.
Raja Chin sepertinya tak bisa banyak berbuat lagi.Dia terus merenungi penuh penyesalan. Menyesali perbuatannya yang menyebabkan rakyatnya menderita. Benaknya terus dihantui perasaan bersalah tak termaafkan. Benaknya sesak dengan kata-kata ”andai saja”. Yah…andai saja dia tidak menolak permintaan raja dari kerajaan sebelah.
Asal muasal musibah ini, sebenarnya karena salah Raja Chin juga. Raja Chin sang titisan manusia menolak permintaan Raja Chun, sang penguasa kerajaan sebelah untuk menukar guci emasnya dengan mustika dewa dari kerjaan sebelah. Hal ini membuat Raja Chun yang merupakan titisan dewa langit menjadi murka.
Kemurkaan Raja Chun dilapiaskan dengan meminta Dewa Langit yang merupakan mbah-nya untuk tidak menurunkan hujan di kerajaan Raja Chin. Karena Raja Chun merupakan titisan kesayangan Dewa langit sang penguasa hujan, maka hujan pun tak turun-turun lagi di kerajaan Raja Chin. Raja Chin tak kuasa membawa rakyatnya keluar dari penderitaan ini. Raja Chin hanyalah titisan manusia yang tak mampu berhubungan langsung dengan Dewa Langit, sang pengatur iklim
Ditemani istri tercintanya, Raja Chin terus merenung di biliknya. Hanya sesekali keluar menerima laporan hulubalang yang ditugaskan untuk memantau situasi. Dalam perenungannya tiba-tiba sang raja dikejutkan dengan kedatangan sepasang burung merpati putih membawa sepucuk surat.
Surat tersebut ternyata dari Raja Chun. Setelah membaca surat tersebut dengan seksama, wajah raja pun tampak sumringah. Bagaimana tidak, ternyata surat tersebut berisi sebuah permohonan dari Raja Chun kepada Raja Chin untuk menikahkan putranya dengan putrinya dengan imbalan hujan akan diturunkan kembali di kerajaan Raja Chin. Rupanya putri Raja Chun punya perasaan mendalam kepada putra Raja Chun.
Tanpa pikir panjang Raja Chin beserta putranya menyanggupi permintaan Raja Chun. Penderitaan pun berakhir. Rakyat kerajaan antah berantah kembali hidup tenteram.
Bumi terus berputar, pergantian siang dengan malam terus berulang. Tak terasa, manusia telah berada di abad 21 masehi. Cerita dari negeri antah berantah pun ternyata hanyalah dongeng. Tetapi kejadian di negeri antah berantah 21 abad sebelum masehi sepertinya akan benar-benar terjadi di kehidupan nyata abad 21 masehi. Anomali cuaca menjadi kekhawatiran bersama manusia saat ini. Ancaman kelangkaan pangan karena anomali cuaca sepertinya sudah berada di depan mata.
Menurut WHO, penurunan produksi pangan dunia pada periode (2009-2015) diprediksi mengalami penurunan sebesar 5 persen. Terjadinya penurunan produksi pangan dunia berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang terus meningkat. Menurut prediksi PBB populasi dunia tahun ini akan mencapai angka 7 milyar penduduk, dan akan meningkat 9 milyar pada tahun 2050.
Jika kedua prediksi ini benar-benar menjadi sebuah realitas, maka Teori Malthus yang menyatakan peningkatan penduduk akan mengikuti deret ukur sementara peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung, akan usang ditelan zaman. Tetapi teori yang berlaku kira-kira bunyinya seperti ini : peningkatan penduduk akan mengikuti deret ukur sementara produksi pangan dunia akan menurun seperti deret hitung.
Bagi Manusia Abad 21 Masehi, hal terpenting yang harus dilakukan menanggapi prediksi-prediksi tersebut adalah menyiapkan payung sebelum hujan. Dan jika seandainya kehidupan dunia masih seperti yang digambarkan pada mitologi kuno di bagian awal tulisan ini, maka tugas kita tinggal menemui manusia titisan Dewa Langit sang pengatur iklim untuk mengatur cuaca sebagaimana biasanya. Tetapi kehidupan dunia seperti itu hanyalah mitos yang tak layak dipercaya keberadaannya.
Lantas, langkah kongkrit seperti apa yang mesti diperbuat?
Mengambil inspirasi dari cerita mitos pada awal tulisan ini, maka menjelma menjadi Dewa Iklim Abad 21 adalah hal yang harus dilakukan. Dewa Iklim titisan Manusia Abad 21 dengan tugas mengatur iklim untuk menyelamatkan Manusia Abad 21, kelahirannya bukanlah sebuah kemustahilan.
Bukankah manusia abad 21 memiliki senjata ampuh yang bernama “Teknologi”? Dengan senjata teknologi, merekayasa iklim bukanlah sebuah kemustahilan. Manusia Abad 21 yang mampu merekayasa iklim inilah kemudian menjelma menjadi Dewa Iklim Abad 21, sang pengatur iklim, penyelamat manusia.
Sebenarnya usaha-usaha untuk merekayasa iklim sudah dimulai saat ini, yang dapat merupakan cikal bakal lahirnya dewa iklim titisan manusia. Menurut berita yang dikutip dari i.dailymail.co.uk, Ilmuwan mengklaim telah menurunkan hujan di Al Ain, di Timur Abu Dhabi, menggunakan teknologi yang didesain untuk mengontrol cuaca. Teknologi ini diklaim mampu mengubah cuaca di sebuah wilayah dari keadaan cerah menjadi hujan. Kebanyakan hujan dihasilkan di puncak musim panas, Juli dan Agustus. Para ilmuwan bekerja secara rahasia atas perintah presiden Uni Emirat Arab, Sheikh Khalifa bin Zayed Al Nahyan.
Senjata teknologi juga tak hanya mampu menciptakan rekayasa cuaca secara fisik, tetapi juga dapat digunakan merekayasa cuaca secara biologis. Dalam hal ini digunakan untuk mengembalikan alam sebagaimana mestinya. Dengan teknologi rekayasa iklim, usaha konservasi alam dapat direkayasa semaksimal mungkin, sehingga pemulihan kondisi alam mendapat kepastian untuk diwujudkan.
Senjata teknologi memungkinkan kita sebagai Manusia Abad 21 untuk terhindar dari kelaparan karena kelangkaan pangan. Teknologi rekayasa genetika terbukti memungkinkan manusia memodifikasi genetik terhadap tanaman, sehingga manusia abad 21 dapat terbebas dari kelangkaan pangan. Bahkan dengan senjata teknologi, kita dapat memaksa Maltus merevisi teorinya, jika saja beliau masih hidup. Teori Maltus yang dapat dirubah adalah pasal yang berbunyi “peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung” menjadi “produksi pangan yang mengikuti deret ukur”, karena teknologi.
*Penulis adalah Pengurus Kammi Daerah Makassar, Alumni Fak. Kehutanan
Unhas

0 komentar: