Sofware Pemasang Iklan Gratis

Mesin Pengumpul Uang

Flag Visitor

free counters

Jumat, 08 Oktober 2010

Jangan Memalak Negara

Oleh : Taufik Mubarak*

‘ Janganlah selalu berfikir apa yang akan diberikan negara untukmu tetapi selalu berfikirlah apa yang akan engkau berikan kepada negara”

Sebuah ungkapan filosofis yang masih tersisa dari mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di bangku SMA. Ungkapan ini tiba-tiba kembali terekam di alam sadarku ketika dana aspirasi senilai 15 miliar per anggota DPR diwacanakan oleh sebagian kalangan anggota dewan yang terhormat. Wacana ini pertama kali diusulkan oleh Fraksi Partai Golkar dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 25 mei 2009. Apabila usulan ini disetujui, negara harus menyiapkan anggaran sebesar Rp. 8,4 triliun per tahun untuk 560 anggota dewan. Menurut Harry Azhar Aziz, anggaran ini bertujuan untuk mengoptimalkan peran anggota DPR terhadap daerah pemilihannya
Suara kontra mulai bermunculan dari berbagai kalangan. ICW (Indonesia Coruption Watch) menilai dana aspirasi Rp 15 miliar yang diajukan anggota DPR merupakan pembajakan APBN. Mereka meminta Presiden SBY segera mengambil sikap politik atas usulan itu. Pemerintah yang diwakili oleh menteri keuangan Agus Martowardoyo sepertinya berada satu kubu dengan ICW. Menurut menteri keuangan pengucuran anggaran itu berisiko memunculkan dampak kontraproduktif karena alokasi dana per daerah pemilihan tersebut tidak akan membantu upaya pemerintah terkait dengan kebijakan menyeimbangkan pendapatan negara dari unsur pajak di tiap daerah. Ketika usulan ini disepakati maka daerah yang memiliki jumlah penduduk padat tentu akan mendapatkan anggaran lebih besar. Sebab, keterwakilan para anggota DPR itu adalah berdasar jumlah penduduk di suatu daerah. Dapil Jawa dan Bali hampir dipastikan akan mendapatkan anggaran lebih besar daripada dapil luar Jawa dan Bali. Begitu pula, dapil-dapil di wilayah bagian barat Indonesia yang penduduknya lebih padat tentu akan mendapatkan alokasi lebih tinggi daripada dapil-dapil di wilayah bagian timur.
Ditinjau dari segi regulasi, usulan ini berpotensi melanggar UU No. 17 tahun 2005 tentang keuangan negara, khusunya pasal 3 yang menyatakan menyatakan bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Berdasarkan regulasi ini maka pelanggaran terhadap efisiensi pengelolaan negara berpotensi terjaji. Penganggaran yang membutuhkan dana 8,4 trilin per tahun dapat dikatakan kurang efisien mengingat anggaran negara yang masih sangat terbatas dibanding dengan beberapa negara lain.
Usulan dari sebagian kalangan anggota dewan tersebut dapat dikatakan sebuah terobosan baru yang dapat bernilai positif. Hal ini karena anggaran ini setidaknya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsitituen yang tidak ter-cover oleh anggaran dari pemerintah (eksekutif). Akan tetapi melihat kondisi keuangan negara saat ini maka sepertinya usulan ini belum saatnya direalisasikan. Anggaran yang dimiliki negara saat ini akan kewalahan untuk memenuhi usulan tersebut. Masih banyak sektor yang membutuhkan anggaran yang tak sedikit. Khusus untuk sektor pendidikan, anggaran yang dibutuhkan sebesar 20 persen dari total APBN. Selain itu utang luar negeri yang terus menumpuk juga membutuhkan anggaran tak sedikit untuk pembayarannya.

Untuk itu pemaksaan agar usulan ini diterima oleh anggota dewan yang lain baiknya diurungkan. Karena ketika hal ini terus dipaksakan untuk diterima maka apa bedanya dengan tukang palak di jalan-jalan yang selau memeras korbannya. Mungkin bedanya hanyalah pada pada korban. Jika pemalak di pinggir jalan korbannya adalah para individu maka pemalak berdasi di gedung dewan korbannya adalah negara. Jadi jangan memalak negara. Barangkali kalimat pembuka dari tulisan ini dapat menjadi bahan perenungan. Bukankah negara ini telah terlalu banyak berkorban untuk kita. Sudah saatnya berkorban untuknya.
Hal yang paling rasional dilakukan oleh anggota dewan untuk saat ini adalah bagaimana perfikir agar program-program pemerintah saat ini dapat berjalan lancar dan memenuhi target. Untuk menjamin kelancaran dari program pemerintah maka peningkatan pendapatan negara harus menjadi salah satu prioritas utama. Peran anggota dewan dalam hal ini adalah menemukan jalan agar pendapatan negara meningkat sekaligus berfikir bagaimana cara agar utang luar negeri dikurangi atau dilunasi. Ketika keuangan negara memungkinkan untuk memenuhi keinginan sebagian anggota dewan tersebut, maka barulah direalisasikan.
Pembenahan internal anggota dewan juga mutlak dilakukan agar program ini berhasil ketika direalisasikan nantinya. Hal yang paling urgen dan mendesak yang perlu dilakukan di internal anggota dewan adalah perlunya reformasi moral. Hal ini karena hingga saat ini masih saja ada oknum anggota dewan yang belum terbebas dari praktek KKN dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya. Reformasi moral ini jangan hanya sampai pada selembar kertas yang diberi nama undang-undang dan sebagainya, tetapi lebih dari pada itu implementasi nyata dalam bentuk praksis jauh lebih penting.

Mengkaji Pemulihan Hak Pilih Anggota TNI/Polri

Oleh : Taufik Mubarak*
Wacana pemulihan hak pilih anggota TNI/Polri kembali bergulir ke ruang pablik. Wacana ini sebenarnya sudah diawali sejak pasca pemilu 2004. Wacana ini berawal dari keinginan mantan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto agar anggota TNI kembali diberi hak pilih pada pemilu 2009. Hal ini kemudian kembali mengemuka setelah Presiden SBY memberikan restu atas wacana ini pada pekan lalu. Publik pun terbagi menjadi pihak yang pro dan kontra.
Pihak yang pro antara lain beralasan bahwa anggota TNI merupakan bagian dari warga Negara yang mempunyai hak yang sama dengan warga Negara lain untuk memilih atau menyalurkan aspirasinya pada pemilu. Menurut mereka, di hampir semua Negara anggota militer diberikan hak yang sama dengan warga Negara lain, untuk memilih pada pemilu. Bahkan di beberapa Negara tentara tidak hanya diberi hak pilih tetapi juga hak untuk dipilih di tingkatan lokal. Sementara pihak yang kontra beralasan bahwa hingga kini belum saatnya TNI/Polri dipulihkan hak pilihnya karena reformasi di tubuh kedua institusi ini belum berjalan sebagaimana mestinya.
Ditinjau dari asal muasal pencabutan hak pilih bagi TNI/Polri, maka kita tak dapat terlepas dengan masa Orde Baru, dimana kedua institusi ini dijadikan alat untuk mempertahankan rezim pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto yang notabene berasal dari kalangan militer. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Presiden Suharto tidak hanya menjadikan TNI/Polri sebagai alat pertahanan dan keamanan, tetapi juga menjadikannya sebagai kekuatan sosial, politik, dan ekonomi yang punya akses berlebih untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Posisi istimewa TNI/Polri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kemudian berakhir pada tahun 1998, setelah terjadinya gerakan reformasi yang berhasil meruntuhkan rezim yang telah memberinya tempat isitimewa yaitu Rezim Orde Baru. Reformasi di tubuh TNI/Polri pun mulai dilaksanakan dengan mengubah paradigm, peran dan fungsi, serta tugas TNI/Polri. Dari segi konstitusi, reformasi tersebut dapat dilihat dari Tap MPR No.VI/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR No.VII/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Sementara peraturan yang mengatur hak pilih anggota TNI tertuang dalam pasal 5 Tap MPR No VII/MPR/2004 yang menyebutkan, "Anggota Tentara Nasional Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Keikutsertaan Tentara Nasional Indonesia dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) paling lama sampai dengan tahun 2004". Peraturan-peraturan pada prinsipnya bertujuan agar tercipta sikap profesional dari kedua institusi ini dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Melihat sejarah masa lalu TNI/Polri dibidang perpolitikan, maka dapat dikatakan bahwa pencabutan hak pilih anggota TNI/Polri dilatari oleh penyimpangan yang dilakukan oleh internal kedua istitusi ini sendiri. Mereka melampaui kewenangan yang seharusnya mereka perankan yaitu menjaga pertahanan dan keamanan Negara. Hal ini kemudian diperparah dengan penyimpangan yang dilakukan oleh mereka dalam menjalankan peran superiornya. Mereka melakukan tekanan yang represif terhadap masyarakat sipil yang salah satu bentuknya dengan pembatasan gerak masyarakat sipil dalam berbagai hal. Tidak hanya sampai disitu, mereka juga melakukan monopoli kekuasaan baik di Lembaga Legislatif, Yudikatif, maupun Eksekutif. Khusus di Lembaga Eksekutif, mereka memasukkan anggota aktif untuk menjabat Kepala Daerah baik di Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II. Sementara di Lembaga Legislatif dapat dilihat dari pembentukan Fraksi TNI/Polri di DPR. Tekanan yang diberikan oleh militer terhadap masyarakat sipil kemudian membuat masyarakat sipil bereaksi dengan memberikan dengan tekanan balik yang klimaksnya pada reformasi 1998. Reformasi ini kemudian melahirkan agenda reformasi terhadap institusi militer dalam hal ini TNI/Polri. Jadi dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pencabutan hak pilih anggota TNI/Polri disebabkan oleh trauma politik masa lalu kalangan sipil terhadap sejarah perpolitikan anggota TNI/Polri. Pencabutan hak pilih ini semacam sangsi terhadap kesalahan masa lalu TNI/Polri.
Pencabutan Hak pilih anggota TNI/Polri terus berlaku sampai pemilu 2009. Ketika wacana ini kembali mencuat ke ruang publik, pertanyaan utama yang kemudian mengemuka adalah apakah TNI/Polri sudah siap untuk diberi kembali hak pilihnya? Apakah mereka sudah bisa memberikan jaminan untuk tidak melakukan penyimpangan terhadap hak politiknya ketika sudah dikembalikan/dipulihkan?
Penyikapan terhadap wacana ini harus dilakukan dengan hati-hati dan dengan pertimbangan yang matang oleh anggota TNI/Polri, khususnya para petingginya, yang merupakan penentu utama pengambilan kebijakan. Pemulihan hak pilih anggota TNI/Polri sebaiknya tidak dipaksakan baik oleh pihak TNI/Polri maupun pihak lain . Khusus pihak TNI/Polri, sebaiknya sebelum menyatakan kesiapan untuk dipulihkan kembali hak pilihnya, mereka terlebih dahulu harus memastikan apakah reformasi di kubu TNI/Polri sudah berjalan sebagaimana mestinya. Jika hal ini tidak dilakukan, maka pemulihan hak pilih anggota TNI/Polri hanya akan menimbulkan masalah internal.
Beberapa hal negatif bagi internal yang kemungkinan terjadi jika TNI/Polri meyatakan kesiapannya menerima kembali hak pilihnya, padalah reformasi di kubu TNI/Polri belum tuntas seperti, pertama : terjadinya perpecahan internal di dalam kubu TNI/Polri utamanya disebabkan oleh masalah pilihan dalam pemilu. Hal ini karena dalam realitasnya, banyak pensiunan TNI/Polri yang ikut bersaing dalam pemilu, khususnya Pemilu Legislatif. Dengan banyaknya pensiunan yang ambil bagian dalam pemilu, maka peluang terjadinya pengkotakan tidak sehat antar anggota TNI/Polri aktif dalam politik menjadi terbuka. Pengkotakan tidak sehat inilah yang menyebabkan perpecahan. Kedua : Anggota TNI/Polri rawan ditarik kembali masuk kedalam ranah politik praktis oleh pensiunan mereka sendiri yang terlibat politik praktis. Pelibatan mereka yang sangat memungkinkan adalah pelibatan secara informal. Hal seperti ini sangat mungkin terjadi, apalagi dalam kubu militer mempunyai kultur yang namanya senioritas dan sistem komando.
Untuk itu, reformasi di kubu TNI/Polri mutlak dilakukan sebelum mereka mendapat pemulihan hak pilih. Setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh TNI/Polri sebagai rangkaian dari reformasi internal anatar lain: Pertama membagun sikap professional pada anggota TNI/Polri dalam menjalankan tugasnya. Mereka harus menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya dengan baik dengan tidak melampaui batas kewenangan yang telah diberikan. Selain itu anggota TNI/Polri harus merespon perkembangan eksternal, guna dijadikan pertimbangan dalam menjalankan reformasi di internalnya. Kedua, memperbaiki kesejahteraan anggotanya utamanya yang berpangkat rendah. Kesejahteraan dapat menghindarkan anggota TNI/Polri dari kemungkinan pemamfaatan jasa mereka oleh pihak tertentu untuk meraih kepentingan pribadi atau golongannya dalam bidang politik, khususnya pada saat pemilu. Peningkatan kesejahteraan ini salah satunya dapat dilakukan dengan cara mengurangi perekrutan anggota TNI/Polri. Hal ini karena dalam perkembangan dunia pertahanan keamanan, jumlah anggota militer tak lagi menjadi penetu utama, tetapi tergantikan oleh teknologi. Dengan pengurangan rekrutmen anggota TNI/Polri, maka akan ada anggaran yang tidak terpakai. Anggaran yang tidak terpakai inilah dapat dialihkan pengalokasiannya untuk teknologi pertahanan keamanan serta untuk meningkatkan kesejateraan anggotanya.
*Penulis adalah Pengurus KAMMI Daerah Makassar.

Kamis, 12 Agustus 2010

Pembuatan dan Sifat Bio-pot untuk Pembibitan Tanaman Hutan

ABSTRAK


Taufik Mubarak (M 121 05 009) Pembuatan dan Sifat Bio-pot Untuk Pembibitan Tanaman Hutan Dibawah Bimbingan Musrizal Muin dan Muh. Restu


Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menemukan wadah ramah lingkungan untuk persemaian tanaman hutan dengan bahan organik sebagai bahan dasar. Penemuan ini meliputi teknologi pembuatan dan penentuan sifat produk yang dihasilkan. Kegunaan dari penelitian ini adalah produk yang ditemukan dapat digunakan dalam persemaian tanaman hutan sebagai alternatif untuk mencegah kerusakan tanah akibat penggunaan polybag berbahan plastik.


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009-Juni 2010. Penelitian bertempat di Laboratorium Keteknikan dan Diversifikasi Produk Hasil Hutan, Program Studi Teknologi Hasil Hutan dan Laboratorium Silvikultur, Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, serta Laboratorium Kimia Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar.


Hasil Penelitian menunjukkan bahwa bio-pot yang dihasilkan dari jenis campuran kertas koran dengan kotoran ternak merupakan bio-pot dengan daya serap air tertinggi sedangkan bio-pot jenis campuran kertas koran dengan daun leguminaceae merupakan jenis bio-pot dengan daya serap air terendah. Bio-pot akan mengalami kerusakan di lapangan ketika diangkat dalam kondisi jenuh air sehingga pengangkutannya hanya dapat dilakukan pada saat bio-pot dalam kondisi kering dan telah bersatu dengan media tanam. Unsur nitrogen (N), posfor (P), kalium (K) yang terkandung di dalam bio-pot yang terbuat dari campuran kertas koran dengan kotoran ternak dan campuran kertas koran dengan daun leguminaceae masing-masing sebesar 37,37 ppm, 828 ppm, 3660 ppm dan 24,87 ppm, 544,77 ppm, 3380 ppm serta dapat tercuci untuk digunakan oleh tanaman dengan laju pencucian masing-masing sebesar 0,035%,0,28%, 0,55% dan 0,088%, 0,27%, 0,59% dalam 6 hari.








Sabtu, 12 Juni 2010

The Tundra Biome

Climate:

In the tundra, conditions are cold, with an annual average temperature less than 5° C, and precipitation (mostly in the form of snow) less than 100 mm per year (see figure at right). The summer is brief, with temperatures above freezing lasting for only a few weeks at most. However, this "warm" summer coincides with periods of almost 24 hour daylight, so plant growth can be explosive.

World Distribution:

The map below shows the tundra spreading across the northern hemisphere. Tundra is largely restricted to the northern hemisphere; there simply is no comparable land mass in the southern hemisphere with the appropriate climate. The areas of the southern hemisphere at high enough latitudes is small, and these areas have their temperatures moderated by the proximity of surrounding oceans. Parts of Greenland extend north far enough that the tundra is replaced by snow and ice; in contrast Canadian and Russian islands at these latitudes are again influenced by the surrounding oceans and may thus exhibit tundra conditions. It should be noted that a similar habitat, alpine tundra, exists in mountains of the alpine biome.

Indicator Plant Species:

A wide variety of plants species can be found on the tundra, as can be seen in the accompanying pictures. What most of them have in common are growth characteristics - they tend to grow low to the ground. Among the common types of tundra plants are willows, sedges and grasses, many in dwarf forms compared to their growth forms in warmer climes. Lichens and mosses (far below) are also important, particularly in the harshest climates.

Arctic Tundra Wildflowers - Alaska


Arctic Tundra Wildflowers - Alaska

Lichen

Lichen


Indicator Animal Species:

Caribou & Reindeer (Rangifer tarandus) are perhaps THE indicator animal species for the tundra. The species, Rangifer tarandus, is panarctic, but differences are seen between the representatives in the Old World and in North America. The Reindeer is the Old World form, it is smaller than the Caribou and has been domesticated. It is herded by northern peoples across Europe and Russia.

The caribou is the North American form. It is larger and still wild. It migrates from summer to winter grazing areas, following the melting of the snow in the spring. A sizeable herd remains in the Arctic National Wildlife Refuge.

Above: Reindeer antlers as the characteristic velvet (the layer of skin, fur and blood vessels that nourish the developing antlers) is being shed at the end of antler development for the year. Both male and female reindeer and caribou have antlers; the females use theirs for defense while the males also use theirs in mating competitions.

Other important tundra animals include musk oxen, wolves, ptarmigan, snow geese, tundra swans, Dall sheep, brown bears (and polar bears near the coast). A number of small rodents and rodent-like animals are crucial parts of this ecosystem as well.

 Reindeer (Rangifer tarandus)

Reindeer (Rangifer tarandus)

 Reindeer (Rangifer tarandus)

Reindeer (Rangifer tarandus)



Ecological Notes:

The ecology of the tundra is controlled by the cold climate and the northern latitude. The former means that a unique soil structure, permafrost, forms and dominates the biology. Permafrost is a layer of soil that remains frozen year-round. The soil above it may thaw during the summer, but the soil below remains frozen and thus biologically inactive. Further, the permafrost forms a barrier; in temperate climes many animals overwinter by burrowing down into the soil to a point below where the soil freezes. This is not possible in the tundra soils, and thus animals must contend with freezing over the winter. It is no accident that there are no reptiles or amphibians in the tundra.

The long day length that accompanies the short summer is a boon to plants, which are able to photosynthesize 24 hours a day in some places. This leads to rapid plant growth. A surprising number of insects are able to endure the harsh winters (many as frost-resistant eggs); these also undergo rapid development in the summer. Many bird species migrate from southern areas to the tundra each year for the reduced competition and plentiful insect harvest; this rich diet enables them to rear their young in an otherwise bleak environment.

Threats:

There aren't a lot of people running out to build houses on the tundra. Development is not a major problem, nor is there much pressure from human populations (although pollution problems near human settlements can be severe; it is a great technical challenge to effect efficient sewage treatment in a cold environment, for instance). The biggest threats come from airborne pollutants, which have brought measurable levels of pollutants such as DDT and PCB's to even remote areas.



The biggest threat, however, is from oil and gas development and the resulting global warming. The Arctic National Wildlife refuge mentioned earlier has the misfortune of sitting on about a 6 month supply of oil. Despite the great difficulty in extracting this oil, corporate interests and their pet politicians just can't seem to let the idea of drilling here go. Instead of promoting fuel conservation, which could easily make up for the oil not retrieved from this arctic paradise, they continue to push the propaganda on the American people that drilling here will somehow offset high oil prices. An more sever threat comes from global warming, however. As the planet warms (a result of burning all that fossil fuel from elsewhere), the permafrost melts and tundra ecosystems collapse. Further, the permafrost contains a significant amount of dead plant material (grown in earlier and warmer times); as the permafrost warms this material begins to decay, releasing even more CO2 into the atmosphere and accelerating global warming.

Tour:

Arctic Tundra and Alaska Pipeline - Alaska

Arctic Tundra and Alaska Pipeline - Alaska


During the short summer, the tundra appears much like a temperate grassland. Ironically, one of the best ways to access the tundra is via the highway that accompanies the Alaska pipeline from Barrow down to Valdez. The section of pipeline seen here is raised off the ground by special stands. These stands are sunk into the permafrost and designed not to conduct heat lest the warmth from the heated oil (the oil has to be heated to thin it enough to pump economically) thaw the permafrost and cause the pipeline to collapse. Raising the pipeline also allow caribou to pass under it freely.

During the summer the snow melts; much is carried away by the streams winding through the tundra (right), other water collects in small lakes and wetlands (below left).

Tundra Stream - Alaska

Tundra Stream - Alaska

Arctic Tundra - Alaska

Arctic Tundra - Alaska

Tundra Stream and Alaska Pipeline - Alaska

Tundra Stream and Alaska Pipeline - Alaska

Arctic Tundra - Alaska

Arctic Tundra - Alaska

Arctic Tundra and Mountains - Alaska

Arctic Tundra and Mountains- Alaska



All of these tundra shots (except the reindeer, which were photographed at the Cleveland Zoo) were taken by Sarah Beck, Marietta College class of 2001. In the summer of 2000, Sarah worked with the Woods Hole Oceanographic Institute on research they were doing in Alaska. Sarah was gracious enough to share these photos with us until we are able to mount our own expedition to the tundra.








Adapted by : http://www.marietta.edu/~biol/biomes/tundra.htm










Bermuda subtropical conifer forests

Jumat, 11 Juni 2010

Some Facts About Climate

Adapted by: http://www.blueplanetbiomes.org/climate.htm
The sun's rays hit the equator at a direct angle between 23 ° N and 23 ° S latitude. Radiation that reaches the atmosphere here is at its most intense.
In all other cases, the rays arrive at an angle to the surface and are less intense. The closer a place is to the poles, the smaller the angle and therefore the less intense the radiation.
Our climate system is based on the location of these hot and cold air-mass regions and the atmospheric circulation created by trade winds and westerlies.
Trade winds north of the equator blow from the northeast. South of the equator, they blow from the southeast. The trade winds of the two hemispheres meet near the equator, causing the air to rise. As the rising air cools, clouds and rain develop. The resulting bands of cloudy and rainy weather near the equator create tropical conditions.
Westerlies blow from the southwest on the Northern Hemisphere and from the northwest in the Southern Hemisphere. Westerlies steer storms from west to east across middle latitudes.
Both westerlies and trade winds blow away from the 30 ° latitude belt. Over large areas centered at 30 ° latitude, surface winds are light. Air slowly descends to replace the air that blows away. Any moisture the air contains evaporates in the intense heat. The tropical deserts, such as the Sahara of Africa and the Sonoran of Mexico, exist under these regions.

World Climate Zones

Have you ever wondered why one area of the world is a desert, another a grassland, and another a rainforest? Why are there different forests and deserts, and why are there different types of life in each area? The answer is climate.
Climate is the characteristic condition of the atmosphere near the earth's surface at a certain place on earth. It is the long-term weather of that area (at least 30 years). This includes the region's general pattern of weather conditions, seasons and weather extremes like hurricanes, droughts, or rainy periods. Two of the most important factors determining an area's climate are air temperature and precipitation.
World biomes are controlled by climate. The climate of a region will determine what plants will grow there, and what animals will inhabit it. All three components, climate, plants and animals are interwoven to create the fabric of a biome

Adapted by :http://www.blueplanetbiomes.org/climate.htm

Animal Ecology

A habitat is any place where a particular animal or plant species lives. Examples of a habitat include a lake, a desert, or forest, or even a drop of water.
All habitats on Earth are part of the biosphere. Since the Earth is always changing, habitats are continually changing as well.
Descriptions of environments using temperature and rainfall are used to group habitats together. Habitats of similar climate and vegetation are called biomes. In different parts of the world, the same biome may contain different species, but will contain similar life forms. For example, trees are the dominant forms of the rain forest, no matter where the rainforest is located.
Animals, which live within a same-species group, and occupy an area at the same time, are part of a population. All members of the same population have certain traits in common. Populations of different plants and animals interact with each other, and together, these populations form communities. Plants and animals in a particular ecological community, or biome, must be adapted to the same living conditions so they can all survive in the same biome.
Many populations can live in the same area because each species fills a specific role in the community. This role is called a niche. What an animal eats, and where it eats are also part of its niche. Giraffes can live in the same area as gazelles because they eat different plants and don't compete with each other. Dung beetles bury the feces of these animals and lay their eggs in it. The hatching grubs feed on the feces. The buried feces also fertilize plants, which in turn feeds the gazelle and giraffe. Each plant and animal has its own niche in the ecological community, and is important in some way to the survival of the other.
Living organisms are usually classified as consumers (animals), producers (plants), or decomposers (fungi), depending on how they get their food. Consumers are, either herbivores, carnivores, or omnivores. Herbivores are called primary consumers because the feed directly on producers. Carnivores feed on other consumers. Omnivores eat both plants and animals. However, animals are seldom completely carnivorous or herbivorous. Some carnivores, such as bears, foxes, and the family cat or dog, will at times eat plants. Herbivores will sometimes eat small insects or grubs as well.

Adapted by :http://www.blueplanetbiomes.org/animals.htm

The First Organisms

Close to 2.5 billion years ago, the earth's surface and atmosphere were stable enough to support primitive life. Single-cell organisms began to develop in the seas that covered the planet. Most of them were very simple single-cell bacteria that fed on chemicals in the ocean's waters.
A simple organism known as blue-green algae appeared and spread across the seas. Blue-green algae are still alive today. It was very important to the future of the planet because blue-green algae used sunlight and water to make food, and in the process, created oxygen. As the blue-green algae grew in the earth's seas, they began to fill the atmosphere with oxygen.
The oxygen blue-green algae produced made it possible for other types of organisms to develop. These organisms needed oxygen to carry out their life processes of growth, feeding, responding and reproducing. Unlike the blue-green algae, these organisms could not produce their own food. They needed oxygen to perform their life processes of growth, feeding, responding, and reproducing. In return, they produced CO2, which the algae needed to perform its life processes. A precise balance between plants and animals was established.

Adapted By:http://www.blueplanetbiomes.org/animals.htm

Plant Life

Adapted by:http://www.blueplanetbiomes.org/rainforest.htm
Besides these four layers, a shrub/sapling layer receives about 3 % of the light that filters in through the canopies. These stunted trees are capable of a sudden growth surge when a gap in the canopy opens above them.
The air beneath the lower canopy is almost always humid. The trees themselves give off water through the pores (stomata) of their leaves. This process, called transpiration, can account for as much as half of the precipitation in the rain forest.
Rainforest plants have made many adaptations to their environment. With over 80 inches of rain per year, plants have made adaptations that helps them shed water off their leaves quickly so the branches don't get weighed down and break. Many plants have drip tips and grooved leaves, and some leaves have oily coatings to shed water. To absorb as much sunlight as possible on the dark understory, leaves are very large. Some trees have leaf stalks that turn with the movement of the sun so they always absorb the maximum amount of light. Leaves in the upper canopy are dark green, small and leathery to reduce water loss in the strong sunlight. Some trees will grow large leaves at the lower canopy level and small leaves in the upper canopy. Other plants grow in the upper canopy on larger trees to get sunlight. These are the epiphytes such as orchids and bromeliads. Many trees have buttress and stilt roots for extra support in the shallow, wet soil of the rainforests.
Over 2,500 species of vines grow in the rainforest. Lianas start off as small shrubs that grow on the forest floor. To reach the sunlight in the upper canopy it sends out tendrils to grab sapling trees. The liana and the tree grow towards the canopy together. The vines grow from one tree to another and make up 40% of the canopy leaves. The rattan vine has spikes on the underside of its leaves that point backwards to grab onto sapling trees. Other "strangler" vines will use trees as support and grow thicker and thicker as they reach the canopy, strangling its host tree. They look like trees whose centers have been hollowed out.
Dominant species do not exist in tropical rainforests. Lowland dipterocarp forest can consist of many different species of Dipterocarpaceae, but not all of the same species. Trees of the same species are very seldom found growing close together. This bio diversity and separation of the species prevents mass contamination and die-off from disease or insect infestation. Bio diversity also insures that there will be enough pollinators to take care of each species' needs. Animals depend on the staggered blooming and fruiting of rainforest plants to supply them with a year-round source of food.

Layers of the Rainforest

Adapted by : http://www.blueplanetbiomes.org/rainforest.htm
There are four very distinct layers of trees in a tropical rain forest. These layers have been identified as the emergent, upper canopy, understory, and forest floor.
Emergent trees are spaced wide apart, and are 100 to 240 feet tall with umbrella-shaped canopies that grow above the forest. Because emergent trees are exposed to drying winds, they tend to have small, pointed leaves. Some species lose their leaves during the brief dry season in monsoon rainforests. These giant trees have straight, smooth trunks with few branches. Their root system is very shallow, and to support their size they grow buttresses that can spread out to a distance of 30 feet.
The upper canopy of 60 to 130 foot trees allows light to be easily available at the top of this layer, but greatly reduced any light below it. Most of the rainforest's animals live in the upper canopy. There is so much food available at this level that some animals never go down to the forest floor. The leaves have "drip spouts" that allows rain to run off. This keeps them dry and prevents mold and mildew from forming in the humid environment.
The understory, or lower canopy, consists of 60 foot trees. This layer is made up of the trunks of canopy trees, shrubs, plants and small trees. There is little air movement. As a result the humidity is constantly high. This level is in constant shade.
The forest floor is usually completely shaded, except where a canopy tree has fallen and created an opening. Most areas of the forest floor receive so little light that few bushes or herbs can grow there. As a result, a person can easily walk through most parts of a tropical rain forest. Less than 1 % of the light that strikes the top of the forest penetrates to the forest floor. The top soil is very thin and of poor quality. A lot of litter falls to the ground where it is quickly broken down by decomposers like termites, earthworms and fungi. The heat and humidity further help to break down the litter. This organic matter is then just as quickly absorbed by the trees' shallow roots.

Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan

Ditulis Oleh Sutaryono
KabarIndonesia - Era millenium yang ditandai dengan berbagai kesadaran baru tentang keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan manusia di tengah pergulatan ekonomi dan politik global yang cenderung kapitalistik, menjadi diskursus menarik.
Tidak sekedar diskursus, tetapi berbagai agenda-agenda pembangunan wilayah yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat menjadi agenda penting dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan penduduk dunia, dengan tetap dalam kerangka keberlanjutan lingkungan. The Millennium Development Goals (MDGs) Report 2006, pada tahun 1990 mencatat lebih dari 1,2 Milyar penduduk dunia (28%) yang tinggal di negara-negara berkembang berada pada kondisi kemiskinan yang memprihatinkan. Dalam konteks ke-Indonesia-an, berdasarkan MDGs Report Tahun 2005 jumlah penduduk miskin pada tahun 1999 mencapai 23,4 %. Pada tahun 2002 turun menjadi 18,2%, pada tahun 2003 menjadi 17,4% dan pada tahun 2004 menjadi 16,6%. Namun demikian menurut Tjondronegoro, pada tahun 2008 kalau kemiskinan diukur menggunakan kriterium Bank Dunia, dimana orang miskin adalah orang yang berpenghasilan di bawah USD 1,00 per Kepala Keluarga (KK), maka jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 20 jutaapabila kriterium yang dipakai adalah angka Bank Dunia yang lain, yakni USD 2,00 per KK, maka jumlah penduduk miskin Indonesia pada saat ini mencapai 100 juta jiwa, atau hampir separuh (43,5%) jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 230 juta jiwa (Tjondronegoro, 2008aBerdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Susenas, menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 39,30 juta jiwa. Jumlah ini tersebar di wilayah perdesaan mencapai 24,81 juta jiwa dan di daerah perkotaan mencapai 14,49 juta jiwa (Heriawan, 2006). Apabila dihitung berdasarkan jumlah Rumah Tangga Miskin, terdapat 19,1 juta Rumah Tangga Miskin di negeri yang kaya ini. Berdasarkan data tersebut, 63,1% penduduk miskin berada di wilayah perdesaan. Lebih dari itu, 72% dari jumlah penduduk miskin di wilayah perdesaan menggantungkan hidupnya di sektor pertaniandihitung berdasarkan jumlah Rumah Tangga Pertanian, di seluruh Indonesia terdapat 13,3 juta Rumah Tangga Pertanian yang hanya menguasai (belum tentu memiliki) luas bidang tanah kurang dari 0,5 hektar (Heriawan, 2006ini menunjukkan bahwa penguasaan tanah oleh rumah tangga petani sangat memprihatinkan, karena sebagian besar petani kita adalah petani gurem. Kondisi ini tidak hanya dialami oleh petani di Pulau Jawa, tetapi juga petani di luar Pulau Jawa. Sebagai contoh 74 dari 100 rumah tangga petani di Jawa adalah petani gurem, di Kalimantan petani gurem mencapai 28%, dan di Sulawesi mencapai 31% dari seluruh rumah tangga petani (Heriawan, 2006). Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani di negeri ini dapat dikatakan ‘lapar tanah'- salah satu penyebab meningkatnya tekanan terhadap kawasan hutan.Pengangguran dan Kelangkaan Sumberdaya LahanPersoalan kemiskinan dan kelangkaan sumberdaya lahan bagi petani sebagaimana di atas sangat erat dengan persoalan ketenagakerjaan. Keterbatasan lahan garapan bagi angkatan kerja di perdesaan semakin meningkatkan angka pengangguran. Hal ini telah disinyalir cukup lama sebagai permasalahan ketenagakerjaan yang paling utama, yakni persediaan tenaga kerja lebih besar dari kebutuhan tenaga kerja. Wujud dari permasalahan tersebut berupa pengangguran, kemiskinan dan keterbelakangan. Berdasarkan hasil Sakernas 2006, terdapat sejumlah 106,3 juta angkatan kerja di Indonesia. Dari sejumlah itu terdapat 11,1 juta jiwa (10,4%) pencari kerja atau sering disebut juga sebagai pengangguran terbuka. Jumlah tersebut terdistribusi di perdesaan sebesar 5,28 juta jiwa (47,6%) dan di perkotaan sebesar 5,82 juta jiwa (52,4 pengangguran ini akan bertambah menjadi 41 juta orang, apabila digabung dengan angkatan kerja yang statusnya setengah pengangguran (bekerja tidak penuh) yang berjumlah 29,9 juta jiwa (23 juta jiwa berada di perdesaan dan 6,9 juta jiwa ada di perkotaan). Jumlah pengangguran dan setengah pengangguran ini, ternyata mencapai 38,57% dari seluruh angkatan kerja yang tersedia. Sejumlah 41 juta orang pengangguran (terbuka dan setengah pengangguran) ini adalah persoalan yang cukup berat bagi bangsa Indonesia. Petani yang lapar tanah, meningkatnya pengangguran yang berujung pada kemiskinan di perdesaan, menjadi satu penyebab masifnya perambahan hutan dan okupasi lahan-lahan kehutanan. Perambahan hutan yang dicirikan dengan illegal loging, okupasi lahan yang dicirikan dengan konversi lahan kehutanan menjadi lahan pertanian, permukiman dan penggunaan lahan lainnya semakin meningkatkan tekanan terhadap hutan yang bermuara pada degradasi lingkungan kehutanan. Fenomena banjir, longsor lahan, dan kekeringan menjadi sebuah keniscayaan pada wilayah hutan dengan intensitas tekanan yang semakin tinggi. Untuk mengurangi atau bahkan menanggulangi degradasi lingkungan kehutanan sebagaimana di atas perlu dilakukan pengelolaan hutan yang terintegrasi dan melibatkan masyarakat sekitar hutan secara sistemik, holistik dan berkelanjutan. Keterlibatan masyarakat sekitar hutan ini harus ditempatkan pada skema pemberdayaan, tidak sekedar partisipasi yang cenderung mobilisasi yang nir penguatan hak-hak masyarakat. Pengalaman Pemberdayaan Dalam Pengelolaan Hutan Masyarakat perdesaan di sekitar hutan, adalah masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan, kesejahteraan, inisiasi dan daya kreasi yang relatif rendah. Budaya nrimo dan sikap fatalis menjadikan masyarakat yang selalu tersubordinasikan oleh sistem ini menjadi sulit untuk bisa berdaya (Sutaryono, 2008sisi lain tekanan terhadap hutan yang semakin tinggi diklaim sebagai pemasok terbesar terhadap tingkat kerusakan hutan yang terjadi. Peladangan berpindah dan kesadaran masyarakat sekitar hutan terhadap sustainability sumberdaya hutan yang rendah sering dijadikan kambing hitam. Meskipun hal itu tidak sepenuhnya benar, tetapi upaya pemberdayaan masyarakat nampak menjadi entry point bagi tercapainya pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari, adil dan berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, khususnya di Jawa telah lama dilakukan oleh Perum Perhutani. Beberapa program pemberdayaan yang telah dilaksanakan antara lain (Prakoso, 1996 dalam Sutaryono, 2008): (1) Prosperity Approach merupakan sebuah embrio pemberdayaan yang sudah mulai diterapkan semenjak tahun 1972, meliputi kegiatan di dalam dan di luar kawasan hutan. Kegiatan tersebut selalu mengalami perkembangan dan penyesuaian berdasarkan perkembangan kondisi sosial ekonomi masyarakat beserta perkembangan ilmu dan teknologi. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan sekaligus membuka dan memperluas lapangan kerja; (2) Program MA - LU atau "Mantri - Lurah", yakni program yang bertujuan untuk menggalang kerjasama antara Mantri dan Lurah dalam memberikan informasi kepada pesanggem tentang agroforestery dan aspek pertanian lain melalui berbagai demonstrasi plot; (3) Pada saat masyarakat mengeluh tentang keterbatasan lahan garapan, Perum Perhutani menawarkan sistem kontrak untuk mengerjakan lahan kawasan hutan yang dibingkai ke dalam program pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH); (4) Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang diluncurkan pada tahun 1981, yang di dalamnya terdapat program pengembangan sumberdaya manusia; (5) Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, yang lebih dikenal dengan PHBM, yang cenderung berorientasi pada pengamanan hutan, bukan pada upaya pemberdayaan. Program-program di atas terlahir, tumbuh dan berkembang dalam nuansa politik yang sentralistik, paradigma pertumbuhan ekonomi yang menjadi acuan pembangunan serta hegemoni negara yang begitu kuatnya menjadikan ruang-ruang interaksi, inovasi dan partisipasi kritis masyarakat menjadi sangat terbatas- kalau tidak dapat dikatakan tidak adaini memberikan implikasi pada peran masyarakat sekitar hutan yang hanya sekedar obyek program-progam tersebut. Partisipasi masyarakat terletak pada tingkat operasional saja. Segala macam regulasi sudah ditentukan oleh Perum Perhutani, baik yang substansial maupun yang bersifat teknis. Tidak ada kebebasan ataupun peluang bagi anggota masyarakat yang terlibat dalam program-program tersebut untuk mengembangkan program ataupun untuk berimproviasasi sekedar mengikuti nalurinya sebagai petani yang akrab dengan alam. Petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang sudah disiapkan secara sepihak oleh Perum Perhutani harus menjadi acuan utama dalam kegiatan operasional. Kasus tersebut menunjukkan bahwa dalam pengelolaan hutan di Jawa, upaya pemberdayaan yang dilakukan oleh Perum Perhutani masih terbatas pada penggunaan terminologi belaka, tidak menyentuh substansi pemberdayaan. Akibatnya sudah dapat diduga, deforestasi masih menggejala dan tidak menunjukkan tanda-tanda berkurang intensitasnyadalam pengelolaan hutan sebagaimana dilakukan oleh Perum Perhutani masih bersifat setengah hati yang justru memberikan implikasi pada hilangnya kepercayaan masyarakat sekitar hutan kepada pihak-pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaan hutan. Hilangnya kepercayaan itu salah satunya dimanifestasikan dalam bentuk resistensi yang mulai berkembang ke arah resistensi terbuka dan bersifat kontraproduktif (Sutaryono, 2008).Pengelolaan Hutan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Berbicara pengelolaan hutan berkelanjutan harus didahului dengan pemberdayaan masyarakat, meskipun dapat juga dipahami bahwa pengelolan hutan berkelanjutan adalah salah satu upaya dalam pemberdayaan. Dalam konteks ini penulis berkeyakinan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah sebuah prasyarat yang harus dipenuhi dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan. Hal ini dilatarbelakangi bahwa masyarakat yang tidak berdaya diberikan stimulan berupa apapun, tetap tidak akan berdaya - realitas pada kasus program-program pemberdayaan masyarakat yang dimunculkan oleh Peru Perhutani apabila masyarakat diberdayakan lebih dahulu maka berbagai stimulan yang ada- apapun bentuknya- akan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitasnya dalam pengelolaan wilayah hutan yang muaranya adalah peningkatan kesejahteraan. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat Kartasasmita, 1996 berarti bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran terhadap potensi yang dimilikinya untuk lebih berdaya guna dan berhasil guna. Hal ini dapat dimaknai bahwa pemberdayaan masyarakat itu salah satunya adalah bagaimana merubah mind set seseorang dari perasaan tidak mampu, tidak bisa dan tidak mungkin menjadi merasa mampu, bisa dan sangat mungkin untuk melakukan perubahan. Adanya pencerahan pada masyarakat sekitar hutan akan kekuatan dan potensi yang dimiliki dapat memberikan kesadaran bersama bahwa perubahan menuju kesejahteraan adalah sebuah keniscayaan. Berkaitan dengan hal tersebut, Suharto (2005) menyebutkan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk kelompok miskin. Sebagai tujuan pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya, mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup, memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan kehidupan. Memberdayakan masyarakat dapat dilakukan dengan tiga cara yang meliputi (Kartasasmita, 1996): (1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang (enabling); (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah positif dalam peningkatan taraf pendidikan, derajat kesehatan serta akses terhadap sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar. Pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar baik fisik seperti jaringan jalan, irigasi, listrik maupun sosial seperti fasilitas pelayanan pendidikan, kesehatan serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan dan pemasaran hasil produksi; (3) memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, bukan membuat masyarakat manjadi makin tergantung pada berbagai program yang bersifat charity, karena pada dasarnya setiap apa yang dimiliki harus dihasilkan atas usaha dan jerih payahnya sendiri, yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain. Berkaitan dengan beberapa hal tersebut, upaya pengelolaan hutan yang berbasiskan pemberdayaan dapat dilakukan dengan strategi sebagai berikut: (1) pemberian asset lahan kehutanan yang berhubungan langsung dengan masyarakat sekitar hutanUpaya ini dilakukan untuk mengurangi kontak langsung masyarakat sekitar hutan dengan hutan sekaligus mereduksi terjadinya pendudukan lahan (land grabbing), karena masyarakat sudah diberi asset terhadap lahan kehutanan yang dapat berfungsi sebagai kawasan penyangga; (2) pemberian akses masyarakat terhadap kawasan hutan, baik dalam hal pemanfaatan hasil hutan, pemeliharaan dan pengawasan. Akses terhadap kawasan hutan ini tidak sekedar terbatas pada pengelolaan lahan kehutanan dengan sistem tumpang sari yang jangka waktunya sangat terbatas, tetapi juga akses dalam pemanfaatan biodiversity hutan yang memungkinkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan peluang untuk ikut mengawasi dan mengamankan kawasan hutan dari berbagai kemungkinan pengrusakan dan pembalakan; (3) meningkatkan ruang interaksi antara masyarakat sekitar hutan dengan lembaga yang diberi otoritas dalam pengusahaan hutan dengan semangat kesetaraan dan kemitraan. Semangat kesetaraan dan kemitraan akan meniadakan subordinasi terhadap masyarakat, tetapi justru menumbuhkan keberdayaan masyarakat sekitar hutan yang memungkinkan gagasan dan inisiatif lokal dalam pengelolaan hutan dapat dioperasionalkan secara modern; (4) perluasan lapangan kerja dalam pengusahaan hutan yang memungkinkan masyarakat sekitar hutan terlibat. Upaya ini dalam jangka pendek dapat mengurangi tingkat pengangguran sekaligus mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan; (5) menggeser paradigma pengusahaan hutan dari timber management yang bercirikan timber extraction (penambangan kayu) ke dalam pengelolaan hutan berbasis resources management yang mengedepankan pengelolaan suberdaya hutan partisipatif terintegrasi dan berbasiskan masyarakat. Paradigma resources management memungkinkan seluruh aparatur kehutanan mempunyai bekal yang lebih lengkap dalam pengelolaan hutan, tidak sekedar kemampuan teknis dalam pengelolaan hutan tetapi juga memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitar hutan secara partisipatif yang mengedepankan kebersamaan.PenutupBeberapa hal yang disebutkan di atas membutuhkan komitmen bersama segenap pemangku kepentingan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan, terutama pihak-pihak yang mempunyai otoritas dalam pengambilan kebijakan. Apabila hal di atas dapat dilakukan secara simultan, dapat dipastikan bahwa masyarakat sekitar hutan akan muncul pemahaman dan kesadaran baru tentang pentingnya keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya hutan. Pemahaman dan kesadaran baru tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah keberdayaan masyarakat yang bermuara pada tumbuhnya self of belonging masyarakat sekitar hutan terhadap sumberdaya hutan yang sudah hampir menghilang dari relung-relung kehidupan masyarakat sekitar hutan. Semoga. Bahan BacaanGriffin, Keith. et al. 2002. "Poverty and the Distribution of Land". Journal of Agrarian Change. Vol 2 No. 3, July 2002.Heriawan, 2006. Implementasi Reformasi Agraria Dari Perspektif Dukungan Penyediaan Data dan Informasi Statistik. Makalah pada Simposium Agraria Nasional, 4 Desember 2006 di Makasar.Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Pustaka Cidesindo, Jakarta.Prijono, Onny S & Pranarka AMW, 1996, Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Centre for Strategic an International Studies (CSIS), Jakarta.Sutaryono, 2008. Pemberdayaan Setengah Hati: Subordinasi Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan. STPN & Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta.Tjondronegoro, 2008a. Mencari Ilmu Di Tiga Jaman Tiga Benua. Sains Press. Bogor.____________, 2008b. Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia. AKATIGA. Bandung.United Nations, 2006. The Millennium Development Goals Report 2006. New York.Word Bank, 2008. "Agriculture For Development". Word Development Report 2008. The Word Bank. Washington, DC.

Adapted by : Perum Perhutani

Penyebab Kerusakan Hutan di Indonesia

Adapted by : Antara News
Pekalongan (ANTARA News) - Menteri Kehutanan (Menhut), M.S Kaban, mengatakan bahwa 80 persen kerusakan hutan yang terjadi di dunia selama ini akibat adanya perkembangan industri yang pesat yang membutuhkan lahan-lahan produktif.

"Sebanyak 80 persen kerusakan hutan di dunia disebabkan adanya industri besar-besaran di Amerika," katanya di Pekalongan, Selasa.

Oleh karena itu, ia tidak sependapat dengan pernyataan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan hidup Greenpeace yang mengumumkan kepada masyarakat dunia, jika bangsa Indonesia sebagai perusak lingkungan hutan.

"Kenapa Bangsa Indonesia selalu dipojokan dalam kerusakan hutan? Padahal, Amerika justru merupakan negara yang mengambil hasil hutan tidak pernah dipertanyakan," katanya.

Untuk menangkal adanya citra buruk bahwa Indonesia sebagai perusak hutan, ia mengajak masyarakat, agar terus berprestasi terhadap kemajuan lingkungan hutan yang ada di sekitarnya.

"Isu-isu degradasi perusakan lingkungan hutan harus diselesaikan secara bersama dan tidak menyalahkan satu sama lainnya," katanya.

Selain itu, Kaban juga meminta pada lingkungan akademis, agar mengurangi penerapan praktik penebangan kayu hutan dan lebih mengutamakan untuk memberikan contoh pada masyarakat terhadap bagaimanan melakukan penanaman pohon yang baik di kawasan hutan.

Menurut dia, selama ini ada kesan jika kerusakan hutan ini terjadi akibat masyarakat ingin menikmati hasil hutan tetapi tidak ada upaya untuk melakukan penanaman pohon.

"Karena itu, kami setuju jika pengelolaan hutan dilakukan secara bersama dengan pihak perhutani, pemda, dan masyarakat sehingga hasilnya bisa dinikmati untuk masa yang akan datang," ujarnya.

Ia menambahkan, sudah saatnya Bangsa Indonesia untuk tidak menunda perbaikan lingkungan hutan dan tidak perlu menyalahkan masalah kerusakan hutan yang terjadi pada masa lalu.

"Mari kita tunjukan pada bangsa lain jika Indonesia mampu memperbaiki lingkungan, tanpa harus ada bantuan dari negara lain," katanya menambahkan. (*)

Reaksi Masyarakat Dunia Terhadap Kerusakan Hutan

1.Brasil
Brasil mengungkapkan rencananya untuk mengurangi pembabatan hutan Amazon
Langkah-langkah untuk melindungi hutan termasuk memindahkan ternak yang ditemukan makan rumput secara ilegal di bagian hutan yang gundul dan menyita kayu yang ditebang secara ilegal. Industri pemroses biji-bijian juga sepakat untuk menolak kacang kedelai yang ditanam di hutan yang sudah ditebang.
http://www.reuters.com/article/environmentNews/idUSN1734831620080618
Restorasi Hutan bisa Memakan Waktu 4.000 Tahun

Riset yang dilakukan oleh Marcia Marques dan rekan-rekannya dari Universitas Federal Parana di Brasil berusaha memahami berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh hutan untuk memulihkan tumbuhan aslinya secara penuh. Studi yang berfokus kepada hutan Atlantik Brasil, menemukan bahwa meskipun spesies tertentu bisa berkembang biak secepat 65 tahun, tetapi spesies-spesies lainnya seperti pohon shade-loving bisa membutuhkan kurang lebih 160 tahun. Akhirnya, spesies-spesies asli yang unik dan dibutuhkan untuk mengembalikan hutan secara penuh bisa membutuhkan waktu selama 4.000 tahun.

2. Negara Kutub
Dr. Vesala dan timnya mempelajari daerah Boreal dekat kutub di Finlandia, dimana dampak perubahan iklim berlipat ganda. Dalam sebuah studi baru, mereka menemukan bahwa hutan-hutan di sana tidak hanya bereaksi tetapi juga menambah terjadinya pemanasan atmosfer.

Dr. Timo Vesala:
Jadi ketika suhu udara naik maka suhu tanah mengikutinya. Dan pada suhu yang lebih tinggi, pada musim gugur dan musim dingin yang hangat, emisi CO2 yang alami dari tanah, dari proses pembusukan materi organik, sampah, dan lain-lain, semuanya ada pada tingkat yang lebih tinggi. Pada masa tanam di musim semi, pohon-pohon mampu menyerap CO2 lebih banyak melalui sebuah proses yang disebut fotosintesis. Tetapi, Dr. Vesala menemukan bahwa kekeringan di musim gugur menjadi lebih lama karena perubahan iklim, terbalik dengan dampak-dampak yang baik ini. Karena sebenarnya di sana tidak ada air, pohon-pohon itu mematikan proses fotosintesis-nya. Dan hutan yang normal ini, yang seharusnya menyerap karbon, kenyataannya malah melepaskannya dalam jumlah yang banyak. Jumlahnya bahkan sebanding dengan emisi-emisi CO2 yang disebabkan oleh manusia. Dengan kata lain, dengan kenaikan suhu atmosfer global, tanah dan hutan di daerah Arktik sekarang berubah menjadi sumber gas rumah kaca. Dr. Vesala berharap bahwa suatu hari atmosfer kita bisa menjadi tidak begitu kompleks dan mengatakan
beberapa nasihat sederhana agar hal itu bisa terjadi: "Pertimbangkanlah masa depan dalam kehidupan dan perencanaan sehari-hari. Jadilah Vegetarian, Jadilah Hijau, Selamatkan Bumi."

http://www.mm.helsinki.fi/core/publications.htm

3. Inggris
Pangeran Charles Menyerukan Penghentian Pembabatan Hutan Hujan

Dengan menyebutkan pentingnya hutan hujan untuk menyerap karbon dan berfungsi sebagai paru-paru dunia, Pangeran Charles berkata bahwa tanpa penghentian yang cepat terhadap pengrusakan hutan hujan, kita akan menghadapi semakin banyak kekeringan dan kelaparan secara signifikan. Yang Mulia mengungkapkan harapannya agar para konsumen menjadi lebih sadar akan akibat dari pola belanja mereka. Ia juga menyerukan para pemerintah dan organisasi-organisasi untuk mencari cara untuk membuat hutan hujan lebih menguntungkan dalam menopang mata pencarian penduduk lokal.


4. Indonesia
Indonesia Menetapkan Standar Minyak Kelapa Sawit

Indonesia menerapkan langkah yang lebih ketat untuk memastikan bahwa produsen minyak kelapa sawit mengikuti standar yang ramah lingkungan yang melindungi hutan hujan, kehidupan liar, dan suku pribumi. Meja Bundar untuk Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan (RSPO) telah memulai proses pemberian label untuk mengaudit dan menandai perkebunan kelapa sawit.
http://www.globalgoodnews.com/business-news-a.html?art=121016728413909855

Memperkecil Pembabatan Hutan adalah Kunci untuk Stabilisasi Iklim

5. Dunia
Minggu yang lalu, pejabat Yayasan Dunia untuk Alam (WWF) berkata di depan Senat AS bahwa pembabatan hutan bertanggung jawab untuk seperlima dari emisi gas rumah kaca. David Hayes, seorang rekan WWF senior, menyatakan pada dengar pendapat Senat mengenai Pembabatan Hutan Internasional dan Perubahan Iklim, berkata, “Secara sederhana, kita tidak bisa membuat kemajuan melawan perubahan iklim kecuali jika kita mengurangi laju penebangan hutan.”
http://www.commondreams.org/news2008/0422-07.htm

Luas Hutan Indonesia

Adapted by : ISAI
Hutan-hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia, meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi. Kekayaan hayatinya mencapai 11 persen spesies tumbuhan yang terdapat di permukaan bumi. Selain itu, terdapat 10 persen spesies mamalia dari total binatang mamalia bumi, dan 16 persen spesies burung di dunia.1

Sejatinya, seberapa luas hutan di Indonesia? Dinas Kehutanan Indonesia pada 1950 pernah merilis peta vegetasi. Peta yang memberikan informasi lugas, bahwa, dulunya sekitar 84 persen luas daratan Indonesia (162.290.000 hektar) pada masa itu, tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan.

Peta vegetasi 1950 juga menyebutkan luas hutan per pulau secara berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000 hektar, Irian Jaya seluas 40.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar.
Menurut catatan pada masa pendudukan Belanda, pada 1939 perkebunan skala besar yang dieksploitasi luasnya mencapai 2,5 juta hektar dan hanya 1,2 juta hektar yang ditanami. Sektor ini mengalami stagnasi sepanjang tahun 1940-an hingga 1950-an. Tahun 1969, luas perkebunan skala kecil hanya mencapai 4,6 juta hektar. Sebagaian besar lahan hutan itu berubah menjadi perkebunan atau persawahan sekitar 1950-an dan 1960-an. Alasan utama pembukaan hutan yang terjadi adalah untuk kepentingan pertanian, terutama untuk budidaya padi.2

Memasuki era 1970-an, hutan Indonesia menginjak babak baru. Di masa era ini, deforestrasi (menghilangnya lahan hutan) mulai menjadi masalah serius. Industri perkayuan memang sedang tumbuh. Pohon bagaikan emas coklat yang menggiurkan keuntungannya. Lalu penebangan hutan secara komersial mulai dibuka besar-besaran. Saat itu terdapat konsesi pembalakan hutan (illegal logging), yang awalnya bertujuan untuk mengembangkan sistem produksi kayu untuk kepentingan masa depan. Pada akhirnya langkah ini terus melaju menuju degradasi hutan yang serius. Kondisi ini juga diikuti oleh pembukaan lahan dan konversi menjadi bentuk pemakaian lahan lainnya.

Hasil survei yang dilakukan pemerintah menyebutkan bahwa tutupan hutan pada tahun 1985 mencapai 119 juta hektar. bila dibandingkan dengan luas hutan tahun 1950 maka terjadi penurunan sebesar 27 persen. Antara 1970-an dan 1990-an, laju deforestrasi diperkirakan antara 0,6 dan 1,2 juta hektar.

Namun angka-angka itu segera diralat, ketika pemerintah dan Bank Dunia pada 1999, bekerjasama melakukan pemetaan ulang pada areal tutupan hutan. Menurut survei 1999 itu, laju deforestrasi rata-rata dari tahun 1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar. Secara keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Para ahli pun sepakat, bila kondisinya masih begitu terus, hutan dataran rendah non rawa akan lenyap dari Sumatera pada 2005 dan di Kalimantan setelah 2010.

Pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang mengejutkan. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (Sumber: World Resource Institute, 1997).
Pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Dua kali lebih cepat ketimbang tahun 1980. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003).3 Dan menciptakan potret keadaan hutan Indonesia dari sisi ekologi, ekonomi, dan sosial ternyata semakin buram.

Forest Watch Indonesia bersama Global Forest Watch menyajikan laporan penilaian komprehensif yang pertama mengenai keadaan hutan Indonesia. Laporan ini menyimpulkan bahwa laju deforestasi yang meningkat dua kali lipat utamanya disebabkan suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Ketidakstabilan politik yang mengikuti krisis ekonomi pada 1997 dan yang akhirnya me-lengser-kan Presiden Soeharto pada 1998, menyebabkan deforestasi semakin bertambah sampai tingkatan yang terjadi pada saat ini.

Pengelolaan hutan yang buruk dimulai semenjak Soeharto berkuasa. Konsesi Hak Pengusahaan Hutan yang mencakup lebih dari setengah luas total hutan Indonesia, oleh mantan Presiden Soeharto sebagian besar di antaranya diberikan kepada sanak saudara dan para pendukung politiknya. Kroniisme di sektor kehutanan membuat para pengusaha kehutanan bebas beroperasi tanpa memperhatikan kelestarian produksi jangka panjang.

Ekspansi besar-besaran dalam industri kayu lapis dan industri pulp dan kertas selama 20 tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu pada saat ini jauh melebihi pasokan legal. Kesenjangannya mencapai 40 juta meter kubik setiap tahun. Banyak industri pengolahan kayu yang mengakui ketergantungan mereka pada kayu curian, jumlahnya mencapai 65 persen dari pasokan total pada 2000.

Korupsi dan anarki atau ketiadaan hukum semakin berkembang menjadi faktor utama meningkatnya pembalakan ilegal dan penggundulan hutan. Pencurian kayu bahkan marak terjadi di kawasan konservasi, misalnya di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah dan di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara dan Aceh.

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sistem konversi hutan menjadi perkebunan menyebabkan deforestasi bertambah luas. Banyak pengusaha mengajukan permohonan izin pembangunan HTI dan perkebunan hanya sebagai dalih untuk mendapatkan keuntungan besar dari Izin Pemanfaatan Kayu (kayu IPK) pada areal hutan alam yang dikonversi. Setelah itu mereka tidak melakukan penanaman kembali, yang menyebabkan jutaan hektar lahan menjadi terlantar. Disamping itu, beberapa perusahaan perkebunan dan HTI sering melakukan pembakaran untuk pembersihan lahan, yang merupakan sumber utama bencana kebakaran hutan di Indonesia.

Pembakaran hutan merupakan salah satu ancaman serius terhadap kerusakan hutan Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini belum banyak tindakan hukum yang telah diambil oleh pemerintah terhadap para pembakar hutan, meskipun sudah ada peraturan perundangan tentang larangan pembakaran hutan, di antaranya PP No. 4 Tahun 2001.

Rabu, 09 Juni 2010

Tujuan Pembangunan

Oleh : Taufik Mubarak

Menurut Dr. S. P. Siagian MPA pembangunan adalah “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perobahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation-building).” Berdasarkan defenisi tersebut maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan pembangunan adalah terciptanya suatu kondisi yang lebih baik dari keadaan sebelumnya, pada bidang yang dijadikan objek pembangunan. Setiap negara memiliki tujuan pembangunan masing-masing yang kadang berbada. Perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan pandangan atau konsepsi negaranya. Pembangunan sebagai kegiatan yang kompleks meliputi berbagai disiplin, sektor, kepentingan, dan kegiatan.. Pembangunan biasanya terbagi atas pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Tujuan pembangunan dirumuskan berdasarkan asas yang di anut suatu bangsa.

Pada umumnya pembangunan nasional negara-negara berkembang ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan ekonomi, dan pemabangunan di bidang ini dapat mendukung pencapaian tujuan, atau mendorong perubahan-perubahan dan pembaharuan pada sektor yang lain dalam bidang kehidupan masyarakat. Tetapi perhatian terhadap sektor ekonomi saja diakui tidak memeberikan jaminan suatu proses pembangunan nasional yang stabil dan kontinu, apabila diabaikan berbagai segi di bidang sosial.

Tujuan pembangunan Indonesia adalah terciptanya kehidupan bangsa yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan undang- undang dasar 1945. Pencapaian tujuan ini menurut beberapa kalangan belum tercapai secara sempurna. Hal ini salah satunya disebabkan oleh masuknya system liberal khususnya pada sektor ekonomi yang menyebabkan hanya segelintir orang yang menikmati kesejahteraan dan kemakmuran. Menurut Prof. Koentjaraningrat Meski banyak di antara kita mempunyai bayangan dan cita-cita tertentu tentang masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, konsep kongkret untuk tujuan tersebut secara nasional sebenarnya belum ada. Pokoknya, kita harus memulai saja menstabiliasi dan membangun dulu. Soal perumusan tujuan secara saksama adalah soal nanti. Ia mengusulkan agar kita mencari pengalaman, belajar dan mencontoh dari proses-proses pembangunan di negara-negara lain yang sedang berkembang. Sambil membangun, kita tiap kali mawas diri dan selalu sanggup mengadakan koreksi-koreksi bilamana perlu.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa di satu sisi, kita belum mempunyai konsepsi nasional yang jelas mengenai masyarakat apakah yang ingin kita tuju dengan usaha pembangunan kita. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menelan mentah-mentah contoh-contoh pembangunan dari Amerika, Uni Sovyet, RRC, Jepang ataupun Brasilia. Ia melanjutkan bahwa, sebagai pengarahan pengarahan kepada pembangunan kita, sambil mengembangkan konsepsi yang jelas, kita harus memahami akibat-akibat serta aspek-aspek negatif dan bahaya dari kemakmuran serta demokrasi yang terlampau ekstrem.

Referensi :

1. Tjokroamidjojo, Bintaro. 1995. Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3ES : Jakarta

2. Administrasi bagi pembangunan : Manajemen Pembangunan http://rinoan.staff.uns.ac.id/files/2009/04/administrasi-bagi-pembangunan-manajemen-pembangunan.ppt. Diakses: 5 Mei 2010

3. Jurnal Kebebasan, 2008. Live Blogging (1): Apakah Sebenarnya Tujuan Pembangunan Kita? http://akaldankehendak.com/?p=286. Diakses : 5 Mei 2010